Sejarah Kota Palu, Jejak Peradaban di Lembah Lima Dimensi

Kota Palu / Foto--Net.--
Radarlambar.Bacakoran.co - Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, memiliki lanskap unik yang mencakup lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk. Kota ini berada di koordinat 0,35–1,20 LU dan 120–122,90 BT, dengan populasi mencapai 372.113 jiwa pada tahun 2021.
Nama "Palu" memiliki beberapa teori asal-usul. Salah satunya berasal dari bahasa Mandar, "Topalu'e," yang berarti "tanah yang terangkat," merujuk pada sejarah geologi daerah ini yang dulunya merupakan dasar laut.
Teori lain menyebutkan bahwa nama Palu berasal dari bahasa Kaili, "volovatu," yang merujuk pada jenis bambu yang tumbuh di daerah ini. Bambu memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Kaili, digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan makanan, bangunan, hingga alat musik tradisional.
Palu awalnya merupakan gabungan dari empat kampung besar: Besusu, Tanggabanggo (kini Kamonji), Panggovia (Lere), dan Boyantongo (Kelurahan Baru). Keempat kampung ini membentuk Dewan Adat Patanggota, yang bertugas memilih pemimpin dan mengatur kehidupan masyarakat.
Pada tahun 1868, Raja Maili (Mangge Risa) berinteraksi dengan Belanda untuk meminta perlindungan. Namun, setelah peristiwa di Kayumalue pada 1888, Raja Maili gugur dan digantikan oleh Raja Jodjokodi yang kemudian menandatangani perjanjian dengan Belanda.
Selama era kolonial, Palu menjadi bagian dari Onder Afdeling Palu, yang mencakup wilayah Palu, Kulawi, dan Sigi Dolo. Setelah kemerdekaan Indonesia, Palu ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah pada 1964, kemudian menjadi kota administratif pada 1978, dan meningkat statusnya menjadi Kotamadya Palu pada 1994.
Pada masa penjajahan Belanda, sistem pemerintahan lokal mengalami perubahan. Perjanjian "Lange Kontract" yang membatasi kekuasaan raja-raja lokal diubah menjadi "Korte Verklaring" pada tahun 1940.