Pasca Lebaran, Utang Pinjol Menggunung Hingga Rp 87 Triliun

Dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Agusman. -Foto-CNBC Indonesia-
Radarlambar.bacakoran.co - Lebaran telah usai. Riuh konsumsi yang mewarnai Ramadan perlahan mereda, namun jejaknya masih nyata di sektor keuangan digital.
Per akhir Februari 2025, utang dari pinjaman daring tercatat mencapai Rp 87 triliun. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan gambaran nyata lemahnya daya beli dan kemampuan bayar masyarakat yang lebih didorong oleh kemudahan akses ketimbang kekuatan finansial.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan tahunan sebesar 31,6 persen. Lonjakan ini bisa dibaca sebagai tanda geliat pasar oleh pelaku industri, namun bagi regulator, ini adalah sinyal bahaya. Tingkat wanprestasi 90 hari atau TWP90 meningkat dari 2,52 persen pada Januari menjadi 2,78 persen di Februari.
Anggota Dewan Komisioner OJK bidang pengawasan lembaga pembiayaan, Agusman, menyebut peningkatan ini sebagai konsekuensi dari konsumsi menjelang Lebaran yang tidak diimbangi kesiapan keuangan jangka panjang. Ia menyampaikan bahwa pertumbuhan pembiayaan yang tinggi belum tentu mencerminkan kualitas kredit yang sehat.
Fenomena kredit macet dalam pinjol mencerminkan pola yang berulang: pencairan yang mudah, literasi keuangan yang lemah, serta lemahnya kontrol internal. Beberapa pinjaman bahkan diberikan tanpa analisis kemampuan bayar, atau lebih parah, kepada peminjam fiktif dengan identitas ganda.
Sementara itu, sektor pembiayaan lainnya juga menunjukkan gejala perlambatan. Piutang lembaga multifinance tumbuh 5,92 persen secara tahunan menjadi Rp 507,02 triliun, melambat dari bulan sebelumnya. Angka ini menyiratkan tekanan konsumsi masyarakat yang mulai terkikis beban cicilan.
Lembaga pembiayaan modal ventura juga mengalami kontraksi. Per Februari, pembiayaan turun 0,93 persen menjadi Rp 16,34 triliun. Penurunan ini mengindikasikan sikap hati-hati investor terhadap sektor startup yang dianggap rentan dalam kondisi ekonomi yang belum stabil.
Di sisi lain, indikator kesehatan industri tampak membaik secara teknis. Rasio kredit bermasalah (non-performing financing gross) turun tipis menjadi 2,87 persen, dan NPF net menurun ke 0,92 persen. Namun perbaikan ini belum menyentuh persoalan struktural di balik lonjakan konsumsi berbasis utang.
Gearing ratio saat ini tengah berada di angka 2,2 kali, yang berarti masih jauh di bawah ambang batas 10 kali. Secara teknis terlihat aman, namun realitasnya, OJK menghadapi tantangan besar dalam merapikan sektor pinjol yang lebih berfokus pada ekspansi daripada perlindungan konsumen.
Menjelang semester kedua 2025, tantangan semakin nyata. Diperlukan regulasi yang lebih tajam, tak hanya dari sisi teknis, namun juga pada aspek literasi dan etika. Tanpa itu, industri pinjaman digital berisiko terus tumbuh di atas fondasi yang rapuh: masyarakat yang tergoda kemudahan, lalu terjebak dalam lingkaran utang yang tak kunjung selesai.(*/edi)