Ketika Bohong Bukan Sekadar Tabiat: Antara Fiksi Jalanan dan Luka Psikologis

ilustrasi/Freepik--

Radarlambar.bacakoran.co - Ada satu jenis teman yang hampir semua orang kenal. Sosok yang pandai bercerita, tetapi sering kali melintasi batas antara kenyataan dan khayalan. Mulutnya ringan seperti daun kering tertiup angin—mudah bercerita, sulit untuk jujur. Ia bukan sekadar tukang ngibul. Ia seperti seniman fiksi jalanan, yang setiap keterlambatan atau kesalahan selalu dibingkai dalam cerita yang dramatis, penuh warna, kadang berlebihan.

Pertanyaannya, apakah ini hanya kebiasaan buruk? Atau ada sesuatu yang lebih dalam dan kompleks secara psikologis?

Dalam dunia psikologi, perilaku semacam ini ternyata memiliki istilah tersendiri. Tidak semua kebohongan lahir dari niat jahat. Beberapa adalah bentuk pertahanan diri, ada pula yang menjadi bagian dari gangguan mental atau bahkan disebabkan oleh kerusakan fungsi memori.

1. Pseudologia Fantastica
Ini adalah kondisi di mana seseorang secara kronis dan kompulsif menciptakan cerita bohong yang sering kali dramatis. Pelakunya menyusun narasi seolah-olah sedang berada dalam film kehidupan yang luar biasa—penuh aksi, pengorbanan, dan kejadian tak terduga. Kadang mereka tahu sedang berbohong, tetapi dorongan untuk menciptakan cerita fiktif lebih kuat dari rasa bersalah.

2. Confabulation
Berbeda dari pembohong biasa, confabulation terjadi ketika seseorang tanpa sadar mengarang cerita sebagai upaya otak untuk mengisi celah dalam memori. Ini umumnya ditemui dalam kasus gangguan neurologis, seperti amnesia atau demensia. Dalam kasus ini, pelaku tidak sedang memanipulasi, melainkan sedang mencari makna dalam ingatan yang rusak.

3. Rasionalisasi
Jenis kebohongan ini cenderung lebih halus. Rasionalisasi muncul sebagai upaya untuk membenarkan kesalahan atau menutupi rasa malu. Misalnya, datang terlambat tapi menyalahkan kemacetan, padahal sebenarnya bangun kesiangan. Rasionalisasi adalah bagian dari mekanisme pertahanan diri, sesuatu yang hampir semua orang pernah lakukan.

4. Mythomania
Jika pseudologia fantastica adalah awal, maka mythomania adalah bentuk lanjutan: kebiasaan berbohong yang berkembang menjadi kecanduan. Bukan lagi karena takut atau ingin disukai, tapi karena ada semacam kepuasan batin saat menciptakan cerita. Sama seperti kecanduan lainnya, perilaku ini bisa merusak hubungan sosial dan bahkan merusak diri sendiri.

Antara Moral dan Ketakutan
Sering kali, kebohongan lahir bukan dari niat jahat, tetapi dari ketakutan—takut tak dianggap, takut gagal, takut dilupakan. Sayangnya, masyarakat cenderung cepat menghakimi. Kita terbiasa menghukum pembohong dalam lingkup kecil (teman, rekan kerja, keluarga), namun terkadang diam terhadap kebohongan besar dalam ruang publik.

Padahal, dalam banyak kasus, kebohongan bukanlah sumber masalah—ia hanyalah gejala dari luka yang lebih dalam: luka eksistensial yang ingin diobati dengan pengakuan.

Refleksi Sosial
Bohong bukan semata persoalan individu. Ia adalah produk dari ekosistem sosial yang menuntut penampilan sempurna, keberhasilan instan, dan kisah hidup yang dramatis. Maka, munculnya "pembohong" bisa jadi adalah respons adaptif terhadap lingkungan yang penuh tekanan.

Kita pun, tanpa sadar, menjadi bagian dari sistem yang menuntut orang lain untuk tampil "hebat", dan kemudian heran ketika mereka memilih jalan pintas melalui cerita palsu.

Literasi Emosional Diperlukan
Memahami bahwa tidak semua kebohongan berasal dari niat buruk adalah langkah awal. Dibutuhkan literasi emosional untuk membedakan antara kebohongan sebagai pelindung diri dan kebohongan sebagai bentuk manipulasi.

Langkah selanjutnya adalah membuka ruang empati: alih-alih langsung menghakimi, kita bisa mulai dengan bertanya. Mengapa seseorang merasa perlu mengarang? Apa yang ia coba lindungi? Apa yang ia takutkan?

Akhirnya, Semua Kembali pada Kita
Teman yang suka bercerita itu mungkin tidak butuh penghakiman. Ia butuh tempat untuk merasa cukup, meski tanpa dramatisasi. Dan kita sebagai masyarakat, bisa menjadi tempat itu—jika bersedia melihat lebih dalam, melampaui permukaan cerita.

Bohong, dalam beberapa kasus, bukanlah tentang ingin menipu—tapi tentang ingin diterima. (*)

 

 

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan