Kemiskinan RI Dipotret Bank Dunia dan BPS

ILUSTRASI _ Bank Dunia. -Foto Preefik-

Radarlambar.bacakoran.co - Polemik angka kemiskinan kembali memantik perhatian publik. Kali ini, perbedaan mencolok antara data Bank Dunia dan data resmi pemerintah menimbulkan pertanyaan besar: seberapa miskin sebenarnya Indonesia?

Bank Dunia baru-baru ini mengungkap sebuah data yang mengejutkan: 60,3 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 172 juta jiwa, dikategorikan sebagai miskin jika mengacu pada standar global mereka. Angka ini kontras tajam dengan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa per September 2024, hanya 9,03 persen dari total populasi Indonesia—sekitar 25,22 juta orang—yang masuk dalam kategori miskin.

Dua Standar, Dua Cerita

Perbedaan mencolok ini bukan tanpa sebab. Sumber utamanya adalah metodologi yang digunakan oleh masing-masing lembaga.

BPS menetapkan garis kemiskinan nasional di angka Rp595.242 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.000 per hari. Sebaliknya, Bank Dunia menggunakan ambang batas internasional sebesar US$6,85 per hari per orang, yang jika dikonversi dengan kurs Rp16.800 per dolar AS, menjadi sekitar Rp115.080 per hari.

Perbedaan garis batas ini menempatkan jutaan orang Indonesia dalam kategori yang sangat berbeda tergantung pada siapa yang memegang penggarisnya.

Standar Naik, Status Naik

Bank Dunia tidak serta-merta menetapkan standar tersebut tanpa dasar. Sejak 2023, Indonesia resmi masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke atas, dengan pendapatan nasional bruto (GNI) mencapai US$4.580 per kapita. Negara dalam kelompok ini, menurut klasifikasi Bank Dunia, memiliki GNI antara US$4.466 hingga US$13.845 per tahun. Artinya, standar penilaian kemiskinan pun harus naik kelas, mengikuti status ekonomi yang membaik secara statistik.

Pemerintah: Pegang Data BPS

Menanggapi polemik tersebut, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menegaskan bahwa acuan utama tetap data BPS. Pemerintah mengakui adanya perbedaan pendekatan, namun menekankan bahwa indikator nasional disesuaikan dengan konteks lokal, termasuk struktur harga, daya beli, dan pola konsumsi masyarakat Indonesia.

Meski demikian, pemerintah tak menutup mata. Saat ini, kajian revisi terhadap garis kemiskinan nasional tengah dilakukan, sebagai upaya menyesuaikan dengan realitas ekonomi terbaru, terutama di tengah melonjaknya harga kebutuhan pokok. Namun belum ada keputusan apakah nantinya akan mengacu pada standar Bank Dunia.

Dua Dunia, Satu Tantangan

Pertentangan dua data ini sesungguhnya menunjukkan dua sisi dari realita Indonesia. Di satu sisi, laporan Bank Dunia menyuarakan peringatan tentang rentannya mayoritas penduduk terhadap guncangan ekonomi. Di sisi lain, data BPS menggambarkan optimisme atas hasil kebijakan sosial dan ekonomi yang berjalan.

Kini, tantangan terbesar pemerintah adalah menjembatani kesenjangan persepsi dan metodologi ini. Sebab tanpa pemahaman yang selaras antara lembaga internasional dan nasional, kebijakan penanggulangan kemiskinan bisa menjadi tidak tepat sasaran. (*/rinto)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan