Setelah Tampil di Dokumenter BBC, Aktivis Palestina Issa Amro Alami Intimidasi dari Tentara dan Pemukim Israel

Fan mengibarkan bendera Palestina pada pertandingan hari Minggu melawan Hearts di Tynecastle.//Foto: Istimewa.--
Radarlambar.bacakoran.co -Ketegangan di wilayah pendudukan Palestina kembali mencuat ke permukaan, kali ini melalui kisah seorang aktivis Palestina, Issa Amro, yang menjadi sorotan setelah tampil dalam film dokumenter terbaru produksi BBC berjudul The Settlers. Dokumenter yang digarap oleh jurnalis investigatif Louis Theroux ini menyelami dinamika ekspansi permukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur—wilayah yang secara luas diakui sebagai tanah milik rakyat Palestina.
Tak lama setelah film tersebut dirilis, Amro mengalami serangkaian intimidasi dari tentara dan pemukim Israel. Dalam sebuah video yang diunggah secara daring, rumahnya di Hebron tampak digerebek oleh pasukan bersenjata dan sejumlah pemukim. Di bawah tekanan, Amro mengaku diancam penangkapan dan bahkan dilarang melaporkan insiden tersebut kepada pihak berwenang.
Amro menyampaikan bahwa intimidasi ini bukan sekadar insiden terisolasi, melainkan bagian dari sistem perlakuan diskriminatif yang ia sebut sebagai wajah baru dari apartheid. Tuduhan ini bukan tanpa dasar. Sejumlah organisasi hak asasi manusia terkemuka, seperti Human Rights Watch dan Amnesty International, sebelumnya telah mengeluarkan laporan yang menyebut Israel menjalankan kebijakan apartheid terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan.
Di sisi lain, Louis Theroux yang menyutradarai film ini mengonfirmasi bahwa dirinya dan tim produksi BBC tetap menjalin komunikasi erat dengan Amro. Theroux sendiri juga mengalami tekanan saat syuting di Hebron, termasuk upaya pengusiran dari lokasi oleh pasukan Israel—menandakan betapa sensitifnya isu yang diangkat dalam film tersebut.
The Settlers merupakan kelanjutan dari karya Theroux sebelumnya, The Ultra Zionists, yang dirilis pada 2012. Lewat dokumenter terbaru ini, Theroux menyoroti peningkatan signifikan jumlah pemukim Israel di tanah Palestina—yang kini diperkirakan melebihi 700 ribu jiwa. Film ini juga menggambarkan bagaimana ekspansi tersebut disokong oleh infrastruktur militer, agenda ideologis, dan motivasi keagamaan, sehingga menciptakan kondisi yang memperparah konflik dan mendorong terjadinya pengusiran warga Palestina dari tanah mereka sendiri.
Salah satu tokoh sentral dalam film ini adalah Daniella Weiss, seorang aktivis senior gerakan pemukim, yang secara terbuka mendukung ekspansi permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat—dan bahkan menyatakan ambisinya untuk melakukan hal serupa di Gaza. Weiss, bersama sejumlah tokoh agama dan politik Israel, menyuarakan dukungan terhadap kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang dianggap mempercepat laju ekspansi pemukim.
Sementara itu, di panggung internasional, Majelis Umum PBB dan Mahkamah Internasional telah menyuarakan keprihatinan mendalam atas situasi ini. Seruan demi seruan telah disampaikan agar Israel menghentikan pendudukannya atas tanah Palestina, karena tindakan tersebut dinyatakan tidak sah berdasarkan hukum internasional.
Kasus yang dialami Issa Amro hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa konflik di Palestina bukan sekadar soal batas wilayah, tetapi menyentuh sisi paling mendasar dari hak asasi manusia. Ketika suara mereka yang mengungkap kebenaran justru dibungkam dengan intimidasi, dunia dihadapkan pada pertanyaan besar: sampai kapan ketidakadilan ini akan terus berlangsung? (*)