Fantastis! Utang Pemerintah AS Belum Setahun Nambah Jadi Rp17.000 Triliun

Presiden Donald Trump. Foto Dok/Net ---
Radarlambar.bacakoran.co- Moody's Investors Service resmi menurunkan peringkat kredit pemerintah Amerika Serikat dari AAA menjadi AA1 pada Jumat, 17 Mei 2025 waktu setempat. Lembaga pemeringkat tersebut menilai bahwa tren jangka panjang peningkatan utang dan beban bunga telah membawa posisi fiskal AS ke level yang tidak lagi sebanding dengan negara-negara lain yang memiliki profil kredit tinggi.
Dalam laporannya, Moody's memproyeksikan bahwa defisit anggaran AS akan meningkat dari 6,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2024 menjadi hampir 9 persen pada 2035. Proyeksi ini dipicu oleh tiga faktor utama: melonjaknya pembayaran bunga atas utang, naiknya belanja jaminan sosial, serta pendapatan negara yang stagnan. Di saat yang sama, rasio utang pemerintah terhadap PDB juga diprediksi melonjak dari 98 persen tahun ini menjadi sekitar 134 persen pada 2035.
Moody's juga memperingatkan bahwa jika kebijakan pemotongan pajak dalam *Tax Cuts and Jobs Act* 2017 diperpanjang, maka defisit primer—yakni defisit yang tidak termasuk bunga utang—berpotensi bertambah sebesar 4 triliun dolar AS dalam satu dekade ke depan. Kondisi ini dianggap mengkhawatirkan karena belum terlihat adanya tanda-tanda dari Kongres maupun pemerintah untuk mengubah arah kebijakan fiskal secara signifikan.
Data terkini menunjukkan bahwa hingga Maret 2025, utang pemerintah federal AS telah mencapai 36,21 triliun dolar AS. Meski sedikit menurun dibandingkan posisi Februari yang mencapai 36,22 triliun dolar, angka ini masih berada di dekat rekor tertinggi yang tercatat pada Januari 2025. Defisit fiskal juga masih sangat besar. Berdasarkan laporan Bipartisan Policy Center, defisit anggaran AS per April 2025 mencapai 1,05 triliun dolar AS, setara dengan Rp 17.272 triliun.
Meski lebih rendah dibandingkan defisit Maret yang mencapai 1,3 triliun dolar atau Rp 21.385 triliun, angkanya tetap tinggi. Dalam tujuh bulan terakhir sejak dimulainya tahun fiskal pada Oktober 2024, total defisit sudah menembus belasan ribu triliun rupiah dan sebagian besar ditutup melalui penerbitan surat utang negara.
Respons dari Gedung Putih muncul dalam bentuk unggahan media sosial dari Direktur Komunikasi Steven Cheung yang menyerang salah satu ekonom Moody’s, Mark Zandi. Zandi dituding sebagai lawan politik Presiden Trump. Namun perlu dicatat bahwa Zandi merupakan kepala ekonom di Moody's Analytics, lembaga yang terpisah dari unit pemeringkat kredit Moody's dan memilih tidak menanggapi lebih jauh tudingan tersebut.
Pemerintahan Presiden Trump, sejak kembali menjabat pada 20 Januari lalu, menyampaikan komitmen untuk menyeimbangkan anggaran. Menteri Keuangan Scott Bessent pun beberapa kali menyatakan bahwa pemerintah berupaya menurunkan biaya operasional. Namun, realisasi dari janji ini masih jauh dari harapan.
Inisiatif pemangkasan pengeluaran lewat Departemen Efisiensi Pemerintah yang dipimpin oleh Elon Musk belum menunjukkan hasil konkret. Sementara upaya meningkatkan pendapatan negara melalui tarif perdagangan justru menimbulkan kekhawatiran pasar terhadap potensi perang dagang dan perlambatan ekonomi global.
Pasar keuangan bereaksi negatif terhadap penurunan peringkat ini. Imbal hasil obligasi AS naik setelah pengumuman Moody’s yang disampaikan pasca penutupan perdagangan. Kenaikan ini mencerminkan kekhawatiran investor bahwa risiko fiskal AS mulai membebani kredibilitas utangnya. Analis memperkirakan bahwa pasar bisa mengalami tekanan lebih lanjut saat perdagangan dibuka kembali pada Senin.
Salah satu akademisi terkemuka, Darrell Duffie dari Universitas Stanford, mengingatkan bahwa kondisi ini menunjukkan AS memiliki tingkat utang yang sudah tidak proporsional. Dalam pandangannya, Kongres perlu segera mengambil langkah konkret, baik dengan menambah pendapatan negara maupun menekan pengeluaran.
Jika tidak ada koreksi dalam waktu dekat, tekanan terhadap pasar obligasi bisa semakin besar dan berisiko menghambat pelaksanaan program-program strategis pemerintahan. Penurunan peringkat ini menjadi sinyal kuat bahwa fundamental fiskal AS tengah berada dalam tantangan serius dan tidak dapat lagi diabaikan.(*)