Program Barak Militer untuk Pelajar Bermasalah Picu Pro dan Kontra di Jawa Barat

Program Barak Militer untuk Pelajar Bermasalah Picu Pro dan Kontra di Jawa Barat. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Pemerintah Provinsi Jawa Barat meluncurkan sebuah program kontroversial yang menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Program pendidikan karakter bergaya militer, yang diinisiasi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, mulai dijalankan pada 2 Mei 2025. Sasaran dari program ini adalah para pelajar yang terlibat dalam perilaku menyimpang, seperti tawuran, membolos, hingga konsumsi alkohol.
Selama 14 hari, para pelajar yang terjaring akan menjalani pelatihan di barak militer dengan pendekatan bela negara. Tujuannya adalah menanamkan nilai disiplin dan menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air melalui kegiatan yang terstruktur dan penuh kedisiplinan.
Meskipun sebagian masyarakat mendukung langkah ini karena dinilai dapat menertibkan perilaku remaja, muncul pula gelombang kritik yang mempertanyakan efektivitas dan etika dari pendekatan tersebut.
Salah satu keberatan datang dari kalangan pemerhati anak dan kesehatan mental. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyuarakan keprihatinan terhadap potensi pelanggaran hak anak yang mungkin terjadi jika program ini tidak dijalankan secara hati-hati. Pandangan serupa juga diungkapkan oleh para ahli kesehatan jiwa, yang menilai bahwa pendekatan militer yang terlalu keras justru bisa berdampak negatif pada kondisi psikologis peserta, terutama jika tidak disertai dengan sentuhan emosional yang manusiawi.
Pendekatan yang hanya mengandalkan kedisiplinan tanpa memahami latar belakang psikologis remaja bisa membuat permasalahan semakin kompleks. Para ahli menyarankan agar program semacam ini dibarengi dengan komunikasi yang membangun, pembinaan emosional, serta pendampingan dari tenaga profesional. Remaja yang melakukan pelanggaran tidak selalu bermasalah secara permanen. Dalam masa pencarian jati diri, mereka rentan terhadap tekanan dan membutuhkan bimbingan, bukan sekadar hukuman.
Secara perkembangan biologis, otak remaja—terutama bagian yang mengatur pengambilan keputusan dan kontrol diri—masih dalam tahap pematangan hingga usia pertengahan dua puluhan. Oleh karena itu, perilaku menyimpang sebaiknya tidak langsung dianggap sebagai cerminan karakter tetap.
Dalam membentuk karakter dan perilaku positif, keterlibatan berbagai pihak seperti keluarga, sekolah, komunitas, dan psikolog sangat penting. Sebuah pendekatan yang kolaboratif dan empatik diyakini lebih efektif dibanding sekadar penanaman kedisiplinan melalui metode keras.
Meskipun program barak militer ini mungkin menunjukkan hasil dalam jangka pendek, namun tanpa keseimbangan dengan pendekatan psikologis dan keterlibatan lingkungan sekitar, hasil positifnya bisa saja tidak bertahan lama atau bahkan menimbulkan dampak sebaliknya.
Program ini menjadi pengingat bahwa mendidik remaja membutuhkan strategi yang lebih komprehensif, bukan hanya sekadar menegakkan aturan, tetapi juga membentuk kesadaran dan empati. (*)