Menyaring Waktu, Menjaga Hidup: Perjalanan Seorang Pria Melawan Gagal Ginjal

Gagal Ginjal Kronis Meningkat di Indonesia. - Foto Net--
Radarlambar.bacakoran.co - Di ruang putih bernama instalasi hemodialisis, sebuah mesin terus berdengung—menyaring darah, menyaring waktu. Dari tubuh seorang pria berusia 66 tahun bernama Nur Kholish, darah mengalir melalui selang panjang ke dalam tabung mesin. Di sana, darah dibersihkan dari limbah yang tak bisa lagi diolah oleh ginjal yang lelah dan rusak. Setelah bersih, darah itu kembali, pelan-pelan mengalir lagi ke dalam tubuhnya yang menggigil meski telah diselimuti kain tebal.
Hari itu adalah hari pertama ia menjalani cuci darah. Tubuhnya dingin, tapi bukan karena cuaca. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—sebuah kesadaran baru bahwa sejak hari itu, ia akan terus bergantung pada mesin untuk tetap hidup.
Setiap minggu, dua kali ia harus menempuh perjalanan berjam-jam dari desanya di pesisir utara Lamongan ke rumah sakit rujukan di Tuban. Semua dilakukan demi satu tujuan: menjaga keseimbangan tubuh, meski harus kehilangan waktu dan tenaga. Di rumah sakit terdekat, antrean cuci darah terlalu panjang. Tak ada pilihan selain menempuh jarak lebih jauh.
Cuci darah bukan hanya tentang proses medis. Ini adalah rutinitas baru yang mengubah segalanya—dari pola makan hingga cara berpikir. Kini, hidupnya harus diatur sedemikian rupa: membatasi cairan, menakar kalium, memilih makanan rendah protein, dan berhenti berharap bisa kembali seperti dulu.
Namun, semua ini tidak datang tiba-tiba. Tanda-tandanya pernah muncul, tapi luput diperhatikan. Bertahun-tahun sebelumnya, tekanan darahnya diam-diam naik, tanpa keluhan berarti. Ia juga divonis diabetes, tapi tetap merasa sehat. Karena merasa tak ada yang salah, ia tak rutin mengontrol kondisi tubuhnya. Sayangnya, itu adalah kesalahan yang mahal.
Saat tubuh mulai membengkak dan napas terasa berat, semuanya sudah terlambat. Ginjalnya telah rusak parah. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan angka-angka yang jauh di luar batas normal. Tubuhnya tidak lagi mampu membuang cairan dan racun. Pilihannya hanya dua: cuci darah atau menyerah.
Untungnya, sistem jaminan kesehatan membantu meringankan beban. Tanpa perlindungan itu, biaya perawatan bisa mencapai jutaan rupiah per minggu—terlalu berat bagi siapa pun yang sudah tidak bekerja. Meski proses administratif kadang merepotkan, akses terhadap layanan ini tetap menjadi penyelamat bagi banyak orang sepertinya.