Era Baru Kejahatan Digital: Penipuan Berbasis AI Semakin Canggih dan Sulit Dideteksi

ilustrasi AI -foto pixabay.com--

Radarlambar.bacakoran.co — Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang begitu cepat tidak hanya membuka peluang baru dalam dunia bisnis dan inovasi, tetapi juga menjadi ladang subur bagi kejahatan siber.

Seiring meningkatnya kemampuan teknologi ini, muncul pula tren baru dalam dunia penipuan yang memanfaatkan kecanggihan AI untuk memperdaya korban secara lebih meyakinkan dan masif.

Sepanjang tahun lalu, berbagai modus penipuan telah mencuat ke permukaan, mulai dari kloning suara, video palsu menggunakan deepfake, hingga phishing berbasis AI. Namun, berbagai kejadian itu kini dinilai sebagai awal dari gelombang besar kejahatan digital yang lebih terorganisir dan berbahaya di tahun ini.

Laporan Forbes menyebutkan bahwa teknologi AI kini digunakan oleh kelompok kriminal siber global untuk menyusun serangan yang sangat sulit dibedakan dari aktivitas normal. Dalam skala besar, para pelaku memanfaatkan AI untuk menghasilkan konten manipulatif secara otomatis, seperti email penipuan, suara atasan palsu, bahkan wajah yang diciptakan dari kumpulan data visual publik.

Salah satu modus yang paling menonjol adalah serangan Business Email Compromise (BEC) yang kini dilengkapi dengan video dan audio palsu. Di beberapa negara, seperti Hong Kong, terjadi insiden di mana penjahat menyamar sebagai pimpinan perusahaan dan memerintahkan pengiriman dana dalam jumlah besar, dengan presentasi video yang tampak otentik.

Fenomena lain adalah penipuan asmara digital yang kini dijalankan oleh chatbot AI. Bot cerdas ini dirancang untuk membangun komunikasi intens dan emosional dengan korban, membuat mereka percaya bahwa sedang berinteraksi dengan manusia. Di beberapa kasus, penipuan dilakukan secara sistematis melalui media sosial dengan pendekatan yang sangat meyakinkan.

Modus “pig butchering” — strategi penipuan yang memadukan relasi personal dengan tawaran investasi — kini juga dilakukan secara massal. Dengan dukungan AI, pelaku mampu mengirim ribuan pesan secara otomatis, disertai dengan deepfake video yang digunakan saat komunikasi langsung. Semua ini dirancang untuk membangun kepercayaan dan memperkuat manipulasi psikologis terhadap korban.

Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah tren pemerasan berbasis deepfake. Di sejumlah negara, termasuk Singapura, ditemukan kasus pemerasan terhadap pejabat dan eksekutif menggunakan video palsu yang menampilkan wajah korban dalam situasi kompromi. Konten tersebut dihasilkan dari foto dan video publik yang diambil dari media sosial profesional dan kemudian diolah dengan perangkat lunak deepfake.

Ancaman ini tidak lagi bersifat acak, tetapi menyasar kelompok dengan profil tinggi dan akses terhadap aset keuangan, baik individu maupun korporasi. Dengan kemudahan mengakses alat AI secara daring, potensi penyebaran kejahatan semacam ini diperkirakan akan semakin luas, melampaui batas negara dan sistem hukum.

Masyarakat diimbau untuk lebih waspada terhadap berbagai bentuk komunikasi digital yang tidak biasa, terutama yang mengandung tekanan emosional, permintaan dana, atau interaksi personal yang terkesan tiba-tiba dan terlalu sempurna. Kejahatan siber berbasis AI tidak hanya menguji kecanggihan teknologi, tetapi juga ketahanan literasi digital publik dalam menghadapi gelombang manipulasi yang semakin kompleks.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan