Pertumbuhan Ekonomi RI Melemah, Daya Beli dan Industri Melempem

Jakarta. Foto Facebook--

Radarlambar.bacakoran.co – Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dan 2026 menunjukkan tren penurunan. Sejumlah lembaga internasional seperti Bank Dunia, OECD, dan IMF telah merevisi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih rendah dari prediksi sebelumnya.

 

Bank Dunia, misalnya, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 4,7 persen pada 2025, dan naik tipis menjadi 4,8 persen di 2026. Proyeksi ini turun dari prediksi sebelumnya yang sempat menyentuh angka 5,1 persen untuk kedua tahun. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga melakukan koreksi serupa, memangkas proyeksi mereka dari 4,9 persen menjadi 4,7 persen untuk 2025, dan dari 5,0 persen menjadi 4,8 persen untuk 2026.

 

Tak hanya Bank Dunia dan OECD, Dana Moneter Internasional (IMF) turut mencatatkan penurunan ekspektasi. Lembaga tersebut kini memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan bertahan di angka 4,7 persen untuk dua tahun ke depan, turun dari proyeksi sebelumnya yang juga berada di kisaran 5,1 persen.

 

Kondisi ini tak lepas dari berbagai tantangan struktural yang belum tertangani secara optimal. Meskipun pemerintah telah menyiapkan berbagai program lanjutan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pendekatannya dinilai belum memberikan gebrakan signifikan dibandingkan periode sebelumnya. Fokus pembangunan masih berkisar pada sektor hilirisasi dan infrastruktur, sementara kebutuhan akselerasi di sektor produktif jangka pendek belum sepenuhnya terpenuhi.

 

Pengembangan sumber daya manusia memang telah dicanangkan, namun program ini diyakini baru akan menunjukkan hasil dalam jangka panjang. Sementara itu, daya beli masyarakat yang masih lemah menjadi salah satu faktor utama yang menghambat pemulihan ekonomi. Lemahnya permintaan domestik berdampak langsung pada menurunnya aktivitas industri nasional.

 

Kondisi industri nasional tercermin dari data Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia. Pada April 2025, PMI berada di level 46,7 dan meski sedikit membaik pada Mei menjadi 47,4, angka tersebut masih berada di bawah ambang batas 50. Ini mengindikasikan bahwa sektor manufaktur masih berada dalam fase kontraksi. Sebagai perbandingan, pada Maret 2025, PMI sempat menyentuh angka 52,4 yang menunjukkan ekspansi produksi.

 

Tekanan terhadap sektor industri semakin jelas ketika menilik performa subsektor tekstil dan produk tekstil. Utilitas sektor ini diperkirakan bisa turun hingga di bawah 50 persen. Jika kondisi ini berlangsung, pengurangan tenaga kerja dalam jumlah signifikan menjadi risiko nyata yang tak bisa dihindari.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan