Smelter Baru Freeport di Gresik Didorong Capai Produksi Maksimal Akhir Tahun

Smelter tembaga PT Freeport Indonesia di KEK JIIPE, Gresik. Foto PT Freeport Indonesia--
Radarlambar.bacakoran.co – Upaya Indonesia dalam memperkuat industri hilir tambang semakin nyata dengan pembangunan fasilitas pemurnian tembaga berskala besar di Gresik, Jawa Timur. Smelter milik PT Freeport Indonesia yang berdiri di kawasan ekonomi khusus JIIPE itu ditargetkan dapat beroperasi secara penuh pada Desember 2025.
Proyek ambisius ini sempat terganggu akibat insiden kebakaran yang terjadi pada Oktober 2024. Kebakaran tersebut merusak salah satu unit penting, yakni sistem pengendali gas dan sejumlah komponen pendukungnya. Dampaknya, aktivitas operasional sempat dihentikan total dan proyek pun dinyatakan dalam keadaan darurat. Namun, sejak pertengahan Mei 2025, smelter mulai kembali aktif setelah perbaikan intensif diselesaikan.
Pemulihan operasi dilakukan secara bertahap. Targetnya, pada akhir Juni, fasilitas ini sudah bisa mencapai kapasitas produksi 40 persen. Proses peningkatan ini akan terus berlanjut setiap bulan hingga mencapai puncaknya di akhir tahun, di mana fasilitas diharapkan mampu beroperasi dengan kapasitas penuh.
Ketika seluruh kapasitas sudah dimanfaatkan, smelter ini diproyeksikan mampu menghasilkan sekitar 40 ribu ton katoda tembaga setiap bulannya. Smelter ini sendiri dirancang untuk mengolah hingga 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Jika digabungkan dengan smelter pertama milik PT Smelting Gresik, maka total kapasitas pengolahan bisa mencapai 3 juta ton per tahun.
Dari proses pemurnian itu, hasil yang diperoleh tak hanya berupa katoda tembaga dalam jumlah besar, tetapi juga logam mulia seperti emas dan perak. Diperkirakan, setiap tahunnya akan dihasilkan hingga 1 juta ton katoda tembaga, ditambah 50 ton emas serta 200 ton perak.
Pembangunan smelter ini merupakan bagian dari komitmen perusahaan atas kewajiban dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diterbitkan sejak 2018. Dengan nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 58 triliun atau sekitar US$ 3,67 miliar, proyek ini tercatat sebagai fasilitas pemurnian tembaga satu jalur (single line) terbesar di dunia.
Lebih dari sekadar angka produksi, keberadaan smelter ini dipandang penting untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok industri tembaga global. Selain itu, dampak ekonominya diyakini dapat membuka banyak lapangan kerja dan mendorong munculnya aktivitas industri turunan di sekitar kawasan.