Bank Indonesia Tahan BI Rate di 5,50 Persen, Begini Dampaknya

Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di 5,50 persen pada Juni 2025 untuk menjaga inflasi dan stabilitas rupiah di tengah ketidakpastian global. -Foto-Net-
Radarlambar.bacakoran.co - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan pada 17–18 Juni 2025. Suku bunga Deposit Facility tetap berada di angka 4,75 persen dan Lending Facility di 6,25 persen. Keputusan ini mencerminkan kehati-hatian otoritas moneter dalam menjaga stabilitas harga dan nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian global, sembari tetap mempertimbangkan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Langkah penahanan suku bunga mencerminkan optimisme Bank Indonesia terhadap sasaran inflasi yang diproyeksikan tetap dalam kisaran target 2,5 persen plus-minus 1 persen hingga tahun 2026. Di sisi lain, keputusan ini juga mempertimbangkan dinamika eksternal yang masih bergejolak, seperti arah kebijakan suku bunga global dan ketegangan geopolitik yang memengaruhi aliran modal serta nilai tukar.
Namun, di tingkat perbankan dan sektor riil, efek dari kebijakan ini tidak serta merta menguntungkan. Perbankan dinilai belum akan melakukan penyesuaian terhadap suku bunga kredit dan simpanan dalam waktu dekat. Lembaga keuangan masih harus menghitung ulang keseimbangan antara biaya dana (cost of fund) dan biaya kredit (cost of credit), terutama karena tingkat kredit bermasalah (NPL) dan kredit berisiko (LAR) masih berada pada level yang relatif tinggi.
Ketatnya likuiditas menjadi hambatan tambahan. Meskipun suku bunga acuan ditahan, bank-bank nasional cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit baru. Terbatasnya ruang penurunan bunga kredit dalam waktu dekat membuat permintaan terhadap pembiayaan, baik dari kalangan dunia usaha maupun rumah tangga, belum akan mengalami lonjakan berarti.
Dampak langsung dari situasi ini adalah stagnasi dalam ekspansi usaha dan investasi baru. Sektor riil diperkirakan tidak akan mendapatkan dorongan signifikan dari sisi pembiayaan karena biaya layanan utang yang tetap tinggi. Hal ini berisiko menekan peluang pembukaan lapangan kerja dan memperlambat pemulihan ekonomi, terutama di sektor-sektor padat karya yang sangat bergantung pada ketersediaan dana murah.
Meskipun demikian, dari perspektif moneter dan stabilitas sistem keuangan, langkah BI masih tergolong moderat dan bijak. Menahan suku bunga di tengah tekanan eksternal yang tidak menentu memberikan ruang perlindungan bagi daya saing aset domestik, termasuk instrumen keuangan seperti obligasi negara. Ini juga membantu menjaga arus modal asing tetap stabil dan mendukung kekuatan nilai tukar rupiah.
Risiko lain yang juga diperhitungkan oleh otoritas moneter adalah potensi lonjakan utang swasta dan rumah tangga jika likuiditas berlebihan dilepas ke pasar tanpa kesiapan penyerapan oleh sektor riil. Oleh karena itu, kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia saat ini dinilai berada dalam jalur yang tepat untuk memastikan keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan, meskipun membutuhkan waktu lebih lama untuk membuahkan hasil bagi sektor produktif.
Ke depan, pengaruh dari kebijakan ini masih akan bergantung pada sejumlah variabel makroekonomi, termasuk kinerja ekspor, belanja pemerintah, serta respon dari sektor swasta dalam menyerap kredit. Namun yang jelas, penyesuaian sektor keuangan terhadap kebijakan ini akan berjalan secara bertahap dalam beberapa bulan ke depan, seiring dengan pulihnya permintaan dan perbaikan struktur kredit nasional.(*/edi)