Desakan Akhiri Perang Gaza Kian Kuat, Posisi Netanyahu Makin Tertekan

Benyamin Netanyahu . Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Setelah 12 hari perang melawan Iran yang sempat mendongkrak dukungan publik, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menghadapi tekanan besar dari dalam negeri. Kali ini, fokusnya bergeser kembali ke Gaza—konflik yang tak kunjung berakhir dan mulai dianggap menemui jalan buntu.
Dukungan terhadap Netanyahu memang sempat menguat saat serangan terhadap Iran berlangsung, terutama karena ketakutan masyarakat akan ancaman nuklir. Namun, pasca-gencatan senjata dengan Teheran diumumkan, sorotan kembali mengarah ke kegagalan menyelesaikan konflik dengan Hamas, terutama terkait pembebasan sandera.
Sejumlah analis dalam negeri mulai mempertanyakan arah kepemimpinan Netanyahu. Operasi militer besar-besaran yang dijalankan Israel sejak serangan 7 Oktober 2023—dengan sandi "Pedang Besi"—tidak menghasilkan target utama yang dijanjikan: kehancuran Hamas dan pembebasan seluruh sandera. Alih-alih berakhir cepat, konflik justru makin berlarut, memicu frustrasi publik.
Survei terbaru yang dirilis media lokal menunjukkan lebih dari separuh warga Israel menginginkan pergantian kepemimpinan. Bahkan hampir dua pertiga responden mendesak agar perang di Gaza segera dihentikan. Peningkatan simpati terhadap Netanyahu yang muncul pasca-konflik dengan Iran nyaris sirna hanya dalam hitungan hari.
Situasi ini memicu gelombang unjuk rasa baru di Tel Aviv. Ribuan warga kembali turun ke jalan, menyerukan agar pemerintah segera menempuh jalan damai dan memprioritaskan pemulangan puluhan sandera yang masih ditawan Hamas. Bahkan mantan sandera yang pernah dibebaskan dalam gencatan senjata awal tahun ini turut hadir menyampaikan desakan langsung ke pemerintahan.
Di ranah politik, tekanan datang dari berbagai arah. Mantan Perdana Menteri Naftali Bennett secara terbuka menyatakan bahwa pemerintahan saat ini gagal menunjukkan kepemimpinan strategis dalam mengatasi krisis Gaza. Ia bahkan menilai masa jabatan Netanyahu yang telah berlangsung selama dua dekade sudah terlalu lama dan tidak sehat bagi demokrasi.
Desakan juga datang dari luar negeri. Presiden AS Donald Trump dalam beberapa pernyataan publiknya mendesak agar Israel segera mencapai kesepakatan dengan Hamas demi pembebasan sandera. Ia bahkan menganggap perdamaian di Gaza kini menjadi hal mendesak yang tak bisa ditunda.
Sementara itu, kritik dari para aktivis dan keluarga korban terus bermunculan. Beberapa dari mereka menilai pemerintah gagal memberikan perlindungan saat serangan Hamas terjadi di masa lalu, dan kini juga dianggap lalai dalam memperjuangkan pembebasan warganya yang masih ditawan.
Walau Netanyahu menyatakan bahwa operasi militer terhadap Iran memberikan ruang strategis untuk membebaskan sandera di Gaza, banyak pihak melihat pernyataan itu sebagai dalih yang tidak konkret. Sebagian masyarakat justru melihat momentum ini sebagai peluang terakhir bagi pemerintah untuk mengambil langkah nyata menuju perdamaian.
Secara keseluruhan, tekanan politik, sosial, dan diplomatik kini menempatkan Netanyahu dalam posisi yang semakin sulit. Dengan kepercayaan publik yang terus menurun, perang yang terus berkecamuk, dan harapan rakyat akan berakhirnya konflik, masa depan politik Netanyahu tampak semakin tidak pasti. (*)