Ongkos Transportasi RI Menjadi yang Tertinggi di Dunia

Kementerian Perhubungan menyebut ongkos transportasi di Indonesia mencapai 12,46 persen dari biaya hidup, lebih tinggi dari standar Bank Dunia. -Ilustrasi Foto-Net-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Indonesia menghadapi persoalan serius di sektor transportasi publik. Data Kementerian Perhubungan menunjukkan masyarakat menghabiskan 12,46 persen dari total biaya hidup untuk kebutuhan transportasi. Angka tersebut jauh di atas standar ideal Bank Dunia yang dirilis pada 2023, yakni 10 persen dari biaya hidup. Kondisi ini menegaskan bahwa ongkos transportasi di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan rata-rata dunia dan telah menjadi beban nyata bagi banyak rumah tangga.
Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda Kemenhub, Risal Wasal, menilai situasi ini bukan hanya soal angka persentase, tetapi juga soal dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi biaya transportasi, semakin besar pula porsi pendapatan rumah tangga yang tersedot, sehingga mengurangi kemampuan mereka memenuhi kebutuhan lain seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.
Ada sejumlah faktor yang membuat ongkos transportasi di Indonesia lebih tinggi. Pertama, ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi yang memaksa konsumsi bahan bakar terus meningkat. Ketergantungan ini muncul karena jaringan transportasi publik masih terbatas, tidak selalu terintegrasi, dan kualitas pelayanannya belum konsisten.
Kedua, kondisi infrastruktur yang tidak merata memperparah biaya perjalanan, terutama di luar Pulau Jawa. Banyak daerah masih menghadapi keterbatasan sarana angkutan umum, jalan yang belum terhubung baik, hingga jarak tempuh yang panjang. Akibatnya, biaya logistik dan biaya harian masyarakat untuk transportasi ikut melonjak.
Di kawasan metropolitan seperti Jabodetabek, tantangan menjadi lebih besar. Pergerakan masyarakat di kawasan ini diperkirakan mencapai 75 juta perjalanan per hari. Tanpa sistem transportasi publik yang benar-benar terhubung, sebagian besar perjalanan tersebut masih mengandalkan kendaraan pribadi, transportasi daring, maupun angkutan umum dengan tarif variatif. Kondisi ini semakin mempertegas tingginya beban transportasi yang harus ditanggung masyarakat perkotaan.
Menghadapi masalah tersebut, pemerintah menyiapkan strategi berupa integrasi tarif dan digitalisasi sistem pembayaran lintas moda. Upaya ini diproyeksikan mampu menekan biaya perjalanan sekaligus meningkatkan kenyamanan pengguna transportasi publik.
Jakarta sudah menjadi kota percontohan dengan penerapan tarif maksimal Rp10 ribu untuk layanan Transjakarta dalam rentang waktu tiga jam, meskipun penumpang harus berpindah koridor. Pemerintah berencana memperluas integrasi tarif ini ke moda lain seperti KAI Commuter, MRT Jakarta, LRT Jabodebek, hingga kereta bandara.
Konsep yang diusung adalah Mobility as a Service (MaaS), yakni layanan transportasi yang memungkinkan masyarakat merencanakan perjalanan, memesan tiket, hingga melakukan pembayaran dalam satu platform digital. Dengan adanya konsep ini, perjalanan diharapkan lebih mudah, efisien, dan terjangkau.
Langkah integrasi transportasi publik memang dipandang sebagai solusi jangka menengah, tetapi tetap ada sejumlah tantangan. Pemerintah perlu memastikan ketersediaan infrastruktur pendukung, memperbaiki manajemen operasional, serta menjamin kualitas layanan di setiap moda transportasi. Selain itu, digitalisasi sistem pembayaran harus diimbangi dengan keamanan data dan literasi digital masyarakat agar tidak menimbulkan persoalan baru.
Jika strategi integrasi berhasil dijalankan, masyarakat akan menikmati biaya transportasi yang lebih terjangkau. Namun tanpa dukungan kebijakan konsisten dan pendanaan memadai, persoalan ongkos transportasi yang mahal dikhawatirkan tetap menjadi beban struktural dalam kehidupan sehari-hari.(*/edi)