Negara Berpotensi Rugi Rp7 Triliun Imbas Salah Kelola Stok Beras

Ombudsman menaksir potensi kerugian pemerintah akibat maladministrasi tata kelola beras Rp7 triliun, meliputi kerugian karena disposal 300 ribu ton beras. -Foto Dok-Antara-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Ombudsman Republik Indonesia menilai tata kelola cadangan beras pemerintah (CBP) yang dijalankan Perum Bulog berpotensi menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar.
Potensi kerugian tersebut diperkirakan mencapai Rp6,5 triliun hingga Rp7 triliun akibat tumpukan stok yang terancam rusak, tingginya biaya operasional, serta lemahnya sistem pengelolaan distribusi.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menjelaskan salah satu faktor terbesar penyebab kerugian adalah menumpuknya stok beras di gudang Bulog. Ombudsman menemukan sekitar 300 ribu ton beras dalam kondisi berisiko disposal atau harus dimusnahkan karena penurunan mutu hingga tidak layak konsumsi. Jika dikalikan dengan harga acuan beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sebesar Rp12.500 per kilogram, maka potensi kerugian negara dari persoalan ini saja sudah mencapai Rp4 triliun.
Selain ancaman disposal, Ombudsman menyoroti kebijakan Bulog yang masih menerapkan sistem penyerapan gabah petani dengan skema any quality. Artinya, Bulog membeli gabah tanpa seleksi kualitas. Meskipun kebijakan ini bertujuan menjaga serapan gabah petani, konsekuensinya adalah biaya pengolahan dan penyimpanan menjadi lebih tinggi. Gabah dengan kadar air dan mutu rendah membutuhkan proses pengeringan dan perawatan tambahan sehingga membengkakkan ongkos operasional Bulog. Dari catatan Ombudsman, pemborosan biaya inilah yang berpotensi menambah kerugian negara hingga miliaran rupiah.
Di luar dua faktor utama tersebut, Ombudsman juga menemukan adanya indikasi persoalan lain yang turut memperbesar kerugian negara, mulai dari inefisiensi rantai pasok, biaya logistik yang membengkak, hingga lemahnya pengawasan mutu di tingkat distribusi. Ombudsman memperkirakan faktor tambahan ini berkontribusi pada kerugian Rp2,5 triliun hingga Rp3 triliun. Jika digabung, total potensi kerugian akibat maladministrasi tata kelola CBP berada di kisaran Rp7 triliun.
Masalah dalam tata kelola CBP ini tidak berdiri sendiri, melainkan berdampak langsung pada masyarakat. Dalam situasi stok beras menumpuk di gudang, harga di pasaran justru tetap tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi beras pada Agustus 2025 sebesar 0,73 persen, sedikit menurun dibanding Juli, tetapi harga beras masih naik di 214 kabupaten/kota. Sebagian besar wilayah bahkan mencatat harga di atas acuan pemerintah, terutama di luar Pulau Jawa.
Kondisi tersebut memperlihatkan adanya ketidaksinkronan antara ketersediaan beras di gudang Bulog dengan pasokan yang benar-benar sampai ke pasar. Stok beras yang tidak segera disalurkan dengan baik menimbulkan dua persoalan sekaligus: kerugian negara akibat stok rusak, dan beban ekonomi masyarakat akibat harga beras yang tetap tinggi.
Bulog berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, lembaga ini harus menyerap gabah petani untuk melindungi harga di tingkat produsen. Di sisi lain, mereka juga harus memastikan stok yang dibeli tetap berkualitas baik hingga tiba di tangan konsumen. Dengan sistem penyerapan any quality, Bulog menghadapi tantangan besar dalam menjaga standar mutu, terutama karena fasilitas pengeringan dan pergudangan yang terbatas di berbagai daerah.
Ketidakseimbangan distribusi juga memperburuk masalah. Sebagian besar stok menumpuk di gudang tertentu, sementara pasokan di pasar rakyat tidak mencukupi. Situasi ini mencerminkan lemahnya koordinasi antara Bulog, pemerintah daerah, dan jaringan distribusi pangan.
Jika maladministrasi tata kelola CBP tidak segera dibenahi, kerugian negara tidak hanya terjadi dalam bentuk stok yang terbuang, tetapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap intervensi pemerintah di sektor pangan. Inflasi beras yang berlarut-larut juga berpotensi memperlebar jurang ketidakadilan sosial, karena kelompok miskin dan rentan paling terdampak oleh kenaikan harga pangan pokok.(*/edi)