Menkeu Purbaya Bongkar Rp200 Triliun Celengan Negara

Ekonom meminta Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa mewaspadai risiko yang bisa muncul imbas langkahnya menggelontorkan celengan negara Rp200 triliun ke perbankan. -Foto Dok---
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengawali masa jabatannya dengan langkah berani. Baru beberapa hari setelah dilantik Presiden Prabowo Subianto pada Senin (8/9), ia langsung mengumumkan rencana menarik Rp200 triliun dana pemerintah yang selama ini mengendap di Bank Indonesia (BI). Dana itu merupakan bagian dari Rp425 triliun kas negara yang berasal dari pajak dan penerimaan lain, namun selama ini dibiarkan pasif.
Menurut Purbaya, kondisi tersebut membuat sistem keuangan dalam negeri kekurangan likuiditas sehingga roda ekonomi melambat dan kesempatan kerja terbatas. Ia memastikan Presiden Prabowo sudah memberi restu agar dana tersebut dialirkan ke enam bank umum milik negara. Mekanismenya berupa penempatan dana layaknya deposito, dengan tujuan agar bank lebih leluasa menyalurkan kredit ke masyarakat.
Pengamat perbankan dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, menilai injeksi dana pemerintah akan menambah ruang gerak perbankan. Saat ini, rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) bank-bank BUMN sudah di atas 90 persen, sehingga tambahan likuiditas dibutuhkan untuk memperluas pembiayaan.
Ia menilai dana segar tersebut bisa mempercepat penyaluran kredit ke berbagai sektor sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya beli, serta membuka lapangan kerja baru. Namun, ia mengingatkan, dampak optimal hanya bisa terwujud bila pemerintah juga menjamin kemudahan berusaha dan kepastian investasi.
Pengamat Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, melihat kebijakan Purbaya berpeluang menggandakan kredit sebagaimana pernah terjadi pada 2020–2021. Saat itu, penempatan dana pemerintah Rp66,99 triliun mampu mendorong kredit hingga Rp382–387 triliun.
Dengan tata kelola yang ketat, injeksi Rp200 triliun kali ini dinilai mampu mengungkit pembiayaan berlipat ganda, menyerap tenaga kerja di sektor konstruksi, rantai pasok bahan bangunan, serta UMKM yang menjadi tulang punggung lapangan kerja nasional. Ia memperkirakan efeknya bisa dirasakan dalam hitungan bulan, mulai dari penurunan biaya dana, percepatan penyaluran kredit KPR dan modal kerja, hingga peningkatan proyek perumahan dan usaha kecil dalam 1–2 triwulan.
Namun, ia menekankan perlunya arsitektur kebijakan yang jelas: penetapan multiplier minimum, laporan berkala realisasi kredit, indikator tenaga kerja, hingga mekanisme clawback bila target tidak tercapai.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kebijakan ini rawan tidak efektif bila tidak disertai aturan ketat. Menurutnya, ada potensi bank hanya menempatkan dana pada Surat Berharga Negara (SBN), sehingga likuiditas tidak benar-benar mengalir ke masyarakat.
Bhima juga menilai dana itu sebaiknya tidak dipakai membiayai program pemerintah yang berisiko tinggi. Sebaliknya, ia menyarankan fokus ke sektor energi terbarukan. Menurutnya, penempatan dana di bidang tersebut sejalan dengan visi Prabowo menuju 100 persen energi baru terbarukan dalam satu dekade ke depan, sekaligus menciptakan puluhan juta lapangan kerja hijau.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, memberi catatan berbeda. Ia mempertanyakan asumsi dasar Purbaya bahwa perlambatan ekonomi disebabkan oleh likuiditas yang ketat. Menurutnya, justru permintaan kredit dari dunia usaha yang lemah. Bila dipaksakan, bank bisa kesulitan menyalurkan pembiayaan produktif.
Ia menilai kebijakan ini akan bekerja optimal bila Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya sehingga permintaan kredit ikut meningkat. Tanpa itu, tambahan dana di bank bisa berujung pada kebingungan perbankan mencari penyaluran yang menguntungkan.
Gebrakan Purbaya Yudhi Sadewa menandai arah baru kebijakan fiskal di era Prabowo. Rp200 triliun dana pemerintah yang sebelumnya mengendap kini diposisikan sebagai mesin penggerak ekonomi. Potensi pengganda kredit, penyerapan tenaga kerja, hingga dorongan pertumbuhan di atas 5 persen terbuka lebar.
Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada desain kebijakan, disiplin pengawasan, serta kondisi makro domestik dan global. Tanpa tata kelola yang ketat, dana besar itu berisiko hanya memperindah neraca bank tanpa menyentuh sektor riil.(*/edi)