Maskapai Garuda dan Pelita Air Berpotensi Digabung

Dirut Pertamina Simon Aloysius bicara soal kemungkinan merger antara Pelita Air dengan Garuda Indonesia. -Foto Pertamina-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – PT Pertamina (Persero) membuka peluang penggabungan Pelita Air dengan Garuda Indonesia sebagai bagian dari upaya restrukturisasi anak usaha di luar bisnis inti migas. Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius, menyampaikan bahwa penjajakan merger tersebut sedang berlangsung bersama Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang kini menaungi berbagai BUMN non-strategis migas.
Menurut Simon, penggabungan ini sejalan dengan roadmap konsolidasi yang tengah disusun Danantara. Selain bisnis penerbangan, pengkajian juga mencakup unit usaha lain milik Pertamina di sektor asuransi, kesehatan, hingga perhotelan, seperti PertaLife Insurance, Tugu Insurance, Rumah Sakit Pusat Pertamina, dan Patra Jasa.
Langkah ini menandai strategi baru Pertamina untuk kembali fokus pada core business di bidang minyak, gas, dan energi terbarukan, sembari melepas unit usaha non-inti ke dalam holding Danantara.
Simon menjelaskan bahwa konsolidasi diperlukan agar Pertamina lebih leluasa menjalankan tanggung jawab di bidang energi, terutama dalam transisi menuju energi bersih. Dengan menyerahkan pengelolaan bisnis non-migas ke Danantara, beban manajerial Pertamina bisa lebih ramping dan fokus.
Menteri BUMN, Erick Thohir, sebelumnya juga pernah menyinggung rencana penggabungan Pelita Air dengan Garuda Indonesia. Menurutnya, kajian merger dilakukan karena Indonesia masih kekurangan armada untuk melayani kebutuhan transportasi udara domestik. Erick menyebutkan bahwa Garuda akan diposisikan sebagai maskapai premium, Pelita Air untuk kelas menengah, dan tetap akan ada ruang bagi maskapai bertarif rendah (low cost carrier).
Ekonom transportasi dari Universitas Indonesia, Augustinus Prasetyo, menilai rencana merger Pelita Air dengan Garuda Indonesia berpotensi menciptakan struktur bisnis penerbangan BUMN yang lebih efisien. Selama ini, kata dia, kedua maskapai berjalan dengan segmen berbeda namun kurang optimal dalam utilisasi armada.
Menurut Augustinus, merger dapat mengurangi duplikasi biaya operasional, memperkuat daya saing di tengah dominasi maskapai swasta, dan sekaligus memperbesar skala ekonomi. Namun, ia mengingatkan bahwa integrasi manajemen harus dilakukan hati-hati mengingat Garuda Indonesia masih dalam proses pemulihan utang pascarestrukturisasi.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, menilai rencana konsolidasi ini sejalan dengan praktik internasional di mana perusahaan energi global lebih fokus ke bisnis inti, sementara unit usaha non-strategis dialihkan ke holding atau dijual. Menurutnya, langkah ini bisa meningkatkan tata kelola dan menghindari beban keuangan ganda yang kerap dialami BUMN.
Meski potensial, merger Pelita Air dengan Garuda bukan tanpa tantangan. Pertama, harmonisasi model bisnis antara maskapai yang berbeda segmen pasar. Kedua, menjaga agar konsolidasi tidak mengurangi aksesibilitas layanan penerbangan ke masyarakat, khususnya rute-rute perintis. Ketiga, memastikan integrasi keuangan tidak membebani Garuda yang baru saja pulih dari tekanan restrukturisasi utang.
Di sisi lain, langkah Pertamina melepas unit usaha non-inti juga perlu dipastikan tidak mengurangi kontribusi keuangan terhadap negara. Sebab, unit usaha seperti perhotelan dan asuransi selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan tambahan di luar bisnis migas.
Rencana merger Pelita Air dengan Garuda Indonesia menandai arah baru konsolidasi BUMN di bawah Danantara. Pertamina berupaya mempertegas fokusnya sebagai perusahaan energi, sementara Danantara ditugasi mengelola diversifikasi bisnis. Jika konsolidasi berjalan mulus, Indonesia berpotensi memiliki industri penerbangan BUMN yang lebih solid, efisien, dan siap bersaing dengan maskapai swasta. Namun, keberhasilan kebijakan ini tetap bergantung pada bagaimana integrasi dikelola serta seberapa besar dampaknya terhadap konsumen dan keuangan negara.(*/edi)