Tinutuan, Cita Rasa dan Filosofi Kehangatan dari Tanah Manado

Tinutuan atau bubur Manado merupakan salah satu kuliner tradisional khas Sulawesi Utara. Foto ; Net.--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Tinutuan, atau yang lebih dikenal sebagai Bubur Manado, merupakan salah satu kuliner tradisional khas Sulawesi Utara yang telah menjadi ikon kuliner Nusantara. Hidangan ini terkenal bukan hanya karena kelezatannya, tetapi juga karena filosofi di baliknya yang mencerminkan kebersamaan dan kearifan lokal masyarakat Minahasa.
Dalam semangkuk Tinutuan, tersimpan perpaduan aneka bahan alami yang menghasilkan cita rasa gurih, manis, dan segar sekaligus, menjadikannya sajian sehat yang kaya nutrisi serta sarat makna budaya. Tidak ada catatan pasti yang menjelaskan kapan Tinutuan pertama kali dibuat atau siapa penciptanya. Namun, banyak sumber meyakini bahwa makanan ini mulai populer di Manado sekitar tahun 1970-an.
Dalam bahasa daerah, kata tinutuan berarti “campur aduk,” menggambarkan proses pengolahannya yang melibatkan berbagai jenis bahan, mulai dari beras, jagung, umbi-umbian, hingga sayuran hijau yang dimasak menjadi bubur kental nan harum.
Salah satu versi sejarah menyebutkan bahwa hidangan ini muncul dari kreativitas para zending, atau penyebar agama Kristen, pada abad ke-19. Dalam upaya mereka berbaur dengan masyarakat lokal, para misionaris tersebut memperkenalkan olahan sederhana yang menggunakan bahan-bahan setempat, disesuaikan dengan selera lidah orang Manado yang menyukai rasa pedas dan kuat. Dari situlah lahir sajian bernama Tinutuan, yang kemudian berkembang menjadi simbol kuliner khas Sulawesi Utara.
Versi lain menyatakan bahwa Tinutuan lahir pada masa penjajahan ketika masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan bahan pangan seperti daging. Demi bertahan hidup, warga Manado mencampurkan berbagai umbi dan sayuran yang tersedia di sekitar mereka lalu memasaknya menjadi bubur padat bergizi. Tak disangka, kreasi sederhana tersebut justru disukai banyak orang hingga menjadi warisan kuliner yang tetap lestari hingga kini.
Berbeda dengan jenis bubur lainnya, Tinutuan tidak menggunakan daging sebagai bahan utama. Komposisinya didominasi oleh sayuran segar dan umbi-umbian yang kaya serat serta vitamin. Labu kuning memberi warna kuning cerah sekaligus rasa manis alami, sementara singkong dan ubi jalar menambah kelembutan tekstur bubur. Jagung manis menghadirkan cita rasa segar, disusul kangkung dan bayam yang memberikan keseimbangan warna serta manfaat kesehatan. Keharuman daun kemangi menjadi sentuhan terakhir yang memperkaya aroma dan rasa.
Dari tampilannya, Tinutuan tampak lebih padat dibandingkan bubur biasa. Warna-warni sayuran yang berpadu menciptakan sajian menggugah selera, seolah menjadi representasi keberagaman budaya dan keceriaan masyarakat Manado.
Proses memasak bubur khas Manado ini memerlukan ketelatenan agar rasa dan teksturnya seimbang. Pertama, beras direbus bersama labu kuning, singkong, dan ubi jalar hingga semua bahan hancur dan menyatu. Setelah mulai mengental, jagung manis, serai, dan daun salam dimasukkan untuk memperkaya aroma.
Sementara itu, bawang merah dan bawang putih ditumis hingga harum sebelum dicampurkan ke dalam panci bubur. Ketika bubur hampir matang, barulah sayuran hijau seperti kangkung, bayam, dan kemangi dimasukkan agar tidak kehilangan warna dan kandungan gizinya. Setelah diberi bumbu garam, lada, dan sedikit gula, bubur siap dihidangkan dengan taburan bawang goreng serta irisan daun bawang.
Biasanya, masyarakat Manado menikmati Tinutuan bersama lauk pelengkap seperti ikan asin goreng, sambal dabu-dabu yang pedas segar, atau perkedel jagung. Kombinasi ini menjadikan rasanya semakin kaya dan menggugah selera. Untuk menghasilkan bubur yang sempurna, pilihlah beras dengan kadar pati tinggi agar teksturnya kental. Proses pemasakan sebaiknya menggunakan api kecil agar bahan-bahan matang perlahan tanpa kehilangan cita rasa alaminya.
Sayuran hijau sebaiknya dimasukkan pada tahap akhir supaya warnanya tetap segar dan tidak layu berlebihan. Dengan cara ini, Tinutuan akan memiliki rasa yang lebih alami dan tampilan yang menarik. Selain lezat, Tinutuan dikenal sebagai makanan yang sangat menyehatkan. Kandungan serat dari sayuran seperti kangkung, bayam, dan jagung membantu memperlancar sistem pencernaan. Labu kuning kaya akan beta-karoten yang baik untuk kesehatan mata dan sistem imun tubuh.
Kemangi dan bayam juga mengandung antioksidan tinggi yang berperan penting dalam menangkal radikal bebas. Karena tidak menggunakan bahan hewani dan rendah lemak, Tinutuan menjadi pilihan ideal bagi mereka yang menjalani gaya hidup sehat atau pola makan vegetarian. Kombinasi alami dari umbi-umbian, jagung, dan sayuran menjadikan bubur ini sumber energi yang menyehatkan tanpa menambah beban kolesterol.
Lebih dari sekadar makanan, Tinutuan memiliki makna sosial yang mendalam. Bubur ini sering disajikan saat sarapan keluarga atau acara kebersamaan masyarakat. Hidangan tersebut menjadi simbol kehangatan, kebersamaan, dan kesederhanaan dalam kehidupan orang Manado. Semangkuk Tinutuan bukan hanya menyatukan berbagai bahan makanan, tetapi juga menyatukan hati mereka yang menikmatinya bersama.
Kini, Tinutuan telah melampaui batas geografis Sulawesi Utara dan menjadi bagian dari identitas kuliner nasional. Dengan cita rasa yang autentik, tampilan yang menggoda, serta manfaat kesehatan yang melimpah, Bubur Manado ini layak disebut sebagai warisan kuliner Indonesia yang menyehatkan, menyatukan, dan tak lekang oleh waktu.(yayan/*)