El-Fasher Jatuh ke RSF, Sudan Terpecah Dua Wilayah

Tragedi El-Fasher--

RADARLAMBARBACAKORAN.CO – Perang saudara yang melanda Sudan sejak April 2023 terus menimbulkan kehancuran besar. Konflik antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF) kini memasuki fase paling kelam setelah kota El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, resmi jatuh ke tangan RSF pada akhir Oktober 2025.

Pertempuran yang bermula di Khartoum ini telah menyebar ke Darfur, Kordofan, dan Gezira, menyebabkan hampir 13 juta orang mengungsi. Ketegangan bermula dari perselisihan antara pemimpin SAF, Abdel Fattah al-Burhan, dan komandan RSF, Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti), terkait proses integrasi pasukan RSF ke militer reguler.

RSF, yang berakar dari milisi Janjaweed pada era Omar al-Bashir, dikenal memiliki sejarah kekerasan terhadap warga sipil di Darfur sejak awal 2000-an. Setelah mendapatkan status hukum sebagai pasukan resmi pada 2017, kelompok ini terus memperluas pengaruhnya hingga akhirnya berkonflik dengan SAF dalam perebutan kekuasaan nasional.

Kota El-Fasher mengalami pengepungan selama 18 bulan sebelum akhirnya direbut RSF. Blokade yang dilakukan menyebabkan 1,2 juta warga terjebak tanpa pasokan makanan dan obat-obatan. Organisasi internasional mencatat ribuan korban jiwa dan gelombang pengungsian besar-besaran. Data satelit menunjukkan tanda-tanda pembantaian massal dan penggunaan kekerasan ekstrem terhadap warga sipil.

Dengan jatuhnya El-Fasher, Darfur kini sepenuhnya berada di bawah kendali RSF. Sudan pun terpecah menjadi dua wilayah besar: bagian barat dikuasai RSF yang membentuk pemerintahan paralel, sementara wilayah timur dan utara masih dikuasai SAF. Situasi ini memperburuk krisis kemanusiaan dengan lebih dari 25 juta penduduk membutuhkan bantuan darurat.

Laporan lembaga internasional seperti PBB, HRW, dan Médecins Sans Frontières menyoroti meningkatnya angka kelaparan dan malnutrisi akut, terutama pada anak-anak. RSF dan SAF sama-sama dituding melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual, eksekusi terhadap warga sipil, dan penggunaan kelaparan sebagai senjata perang.

Isu keterlibatan Uni Emirat Arab (UEA) dalam mendukung RSF turut memanaskan situasi geopolitik kawasan. Meski UEA membantah, sejumlah laporan menyebut adanya pasokan senjata dan dukungan logistik kepada RSF demi kepentingan ekonomi, terutama penguasaan jalur emas dan akses ke Laut Merah. Upaya diplomasi yang dimediasi oleh AS, Saudi, Mesir, dan UEA sejauh ini belum membuahkan hasil, sementara pertempuran terus menelan korban baru setiap hari.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan