Kenapa Perintah Puasa Menggunakan Redaksi 'Diwajibkan'?
Ustad H Abdul Ghani--
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
Ayat washiyat (Q.S al-Baqarah: 180)
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.”
Dan juga ayat perang (Q.S al-Baqarah ayat 216):
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.”
Ketentuan pada ayat-ayat di atas bersifat membebani dan menyusahkan untuk menjalaninya, itu sebabnya Allah menggunakan kalimat pasif, yaitu siapa yang mewajibkan ketentuan itu tidak disebutkan.
Kita tahu yang mewajibkan itu Allah, tapi karena kemahalembutan dan kemahapemurahan Allah, maka seolah Allah tidak menampilkan asma-Nya sebagai Dia yang memberi perintah langsung secara jelas dan tegas.
Ada kedekatan dan sekaligus saling pengertian, bahkan penghormatan ketika kalimat pasif yang digunakan. Ini hanya bisa disadari oleh mereka yang juga lembut hatinya.
Lantas kapan Allah menggunakan diksi aktif, yaitu kataba? Kita dapati dalam QS al-An’am ayat 54:
وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّك عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ