Tujuan zakat fitrah adalah memastikan penerima dapat merayakan Idulfitri dengan layak.
Sebagian ulama ada yang memperbolehkan zakat dalam bentuk uang selama tidak bertentangan dengan ijma' ulama.
Maslahat penerima zakat menjadi prioritas utama jika terjadi perbedaan pendapat.
PBNU menetapkan bahwa zakat fitrah dalam bentuk uang harus setara dengan harga 2,7 kg hingga 3 kg beras. Dengan kebijakan ini, masyarakat memiliki keleluasaan dalam memilih bentuk zakat yang paling bermanfaat bagi mustahiq.
Praktik di Masyarakat dan Tantangan Sosialisasi
Mayoritas masyarakat Indonesia masih membayar zakat fitrah dalam bentuk beras sesuai mazhab Syafi'i. Namun, banyak juga yang memilih membayar dengan uang karena dinilai lebih praktis dan bermanfaat.
Beberapa pesantren, seperti Sirojuth Tholibin di Grobogan, menawarkan solusi berupa pembayaran zakat melalui uang untuk membeli beras. Metode ini memungkinkan masyarakat mengikuti ketentuan mazhab Syafi'i sambil tetap memberikan fleksibilitas bagi penerima zakat.
Tantangan utama dalam sosialisasi zakat fitrah dalam bentuk uang adalah persepsi bahwa hanya beras yang sah dalam mazhab Syafi'i. Oleh karena itu, diperlukan edukasi yang bijak dan berimbang agar masyarakat memahami dasar hukum di balik keputusan tersebut.
Perdebatan mengenai zakat fitrah dalam bentuk beras atau uang mencerminkan kekayaan khazanah fikih Islam. Mazhab Syafi'i mewajibkan makanan pokok, sementara mazhab Hanafi membolehkan uang. Pendapat fleksibel dari Gus Baha dan PBNU menekankan pentingnya kemaslahatan penerima zakat.