Radarlambar.bacakoran.co – Di tengah dinamika ekonomi global yang penuh gejolak tekanan nilai tukar rupiah belum menunjukkan tanda-tanda membaik dan masih berada di jalur pelemahan yang terus berlanjut.
Kondisi ini membuat para pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan mau tak mau harus bersiap untuk hidup berdampingan dengan realitas baru: rupiah yang terus tertekan.
Pada Rabu 23 April 2025 nilai tukar rupiah ditutup pada posisi Rp16.860 per dolar AS, turun tipis 0,06%, penurunan ini terjadi meski Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuannya di level 5,75%. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan di pasar tentang seberapa efektif kebijakan moneter saat ini dalam meredam pelemahan mata uang nasional.
Tekanan terhadap rupiah bukan sekadar persoalan domestik. Faktor eksternal, mulai dari perang dagang global hingga perubahan kebijakan moneter negara maju, menjadi penyebab utama.
Di tengah semua itu Indonesia masih harus menemukan upaya agar tidak terseret lebih dalam oleh gelombang ketidakpastian global. Salah satu strategi yang jadi sorotan adalah pengelolaan Dana Hasil Ekspor (DHE) yakni pemerintah didorong untuk lebih agresif dalam memastikan devisa hasil ekspor tetap berada di dalam negeri.
Perpanjangan masa penahanan devisa atau kebijakan baru yang lebih efektif menjadi opsi yang terus digodok. Tujuannya jelas: memperkuat cadangan devisa agar Bank Indonesia punya amunisi cukup dalam menjaga stabilitas rupiah.
Namun, upaya menjaga kestabilan nilai tukar tak bisa hanya mengandalkan intervensi di pasar. Cadangan devisa yang digunakan untuk operasi di pasar non delivery forward tentu ada batasnya dan jika terlalu sering digunakan maka kekuatannya bisa menurun membuka celah bagi spekulasi pasar yang semakin liar.
Di sisi lain, dunia usaha sebenarnya masih melihat peluang di tengah tekanan ini. Fakta bahwa ekspor Indonesia tetap tumbuh positif di tengah ketegangan perdagangan global memberi secercah harapan. Meski ada kekhawatiran bahwa rekor ekspor selama 58 bulan akan terhenti, ada upaya nyata untuk mencari pasar baru. Komoditas seperti kelapa sawit sudah mulai menjangkau pasar-pasar non-tradisional seperti India dan Tiongkok.