Radarlambar.bacakoran.co -Badan Keamanan Nuklir Nasional (NNSA) mengumumkan bahwa mereka mengantisipasi pengiriman unit produksi pertama bom nuklir B61-13 pada Mei 2025, hampir setahun lebih cepat dari yang dijadwalkan. Hal ini disampaikan oleh Administrator Sementara NNSA, Teresa Robbins, dalam sidang kongres pada Rabu. Robbins juga menyebutkan bahwa hulu ledak W88 Alteration 370 akan dikirim sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan ke Angkatan Laut AS, dengan produksi yang diperkirakan selesai pada akhir tahun fiskal 2025.
Selain itu, Robbins menyampaikan bahwa proyek hulu ledak W80-4, yang digunakan untuk rudal jarak jauh, juga tetap sesuai jadwal, dengan unit produksi pertama diharapkan tiba pada September 2027. Sementara itu, hulu ledak W87-1 diperkirakan akan mulai diproduksi pada awal 2030-an, dan produksi hulu ledak W93 direncanakan akan dimulai pada pertengahan tahun 2030-an.
Program ini merupakan bagian dari upaya untuk memastikan kesiapan dan modernisasi persenjataan nuklir AS guna mempertahankan ketahanan negara. Proses produksi senjata nuklir ini melibatkan perencanaan dan koordinasi yang ketat antara berbagai badan dan instansi pemerintah AS.
Putin: Rusia Tidak Membutuhkan Senjata Nuklir di Ukraina
Sementara itu, Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam sebuah wawancara, menyatakan bahwa Rusia tidak perlu menggunakan senjata nuklir dalam operasi militer di Ukraina dan berharap tidak akan ada kebutuhan untuk menggunakan senjata tersebut di masa depan. Menurut Putin, meskipun ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk memprovokasi Rusia agar menggunakan senjata nuklir, Moskow tetap tenang dan berfokus pada tujuan strategis mereka di Ukraina.
Putin menegaskan bahwa Rusia memiliki kekuatan dan sumber daya yang cukup untuk mencapai hasil yang mereka inginkan dalam operasi di Ukraina, yang dimulai pada 2022. Ia berharap situasi ini bisa diselesaikan dengan cara yang lebih logis dan menguntungkan bagi Rusia, tanpa perlu melibatkan senjata nuklir.
Pembahasan tentang Energi Nuklir di Indonesia
Dalam topik terkait energi, Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, baru-baru ini membahas perkembangan teknologi energi nuklir dengan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, dalam sebuah pertemuan di Jakarta. Fokus utama pembahasan adalah tentang pembangunan pembangkit nuklir modular dengan daya yang relatif kecil, antara 300 hingga 500 megawatt, yang menurut Eddy sangat cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia.
Eddy menjelaskan bahwa Indonesia tengah mempertimbangkan teknologi nuklir sebagai salah satu solusi untuk kebutuhan energi di masa depan, khususnya di wilayah Jawa yang diperkirakan akan menghadapi kekurangan sumber energi terbarukan pada tahun 2038. Kalimantan Barat dan Bangka Belitung dianggap sebagai lokasi potensial untuk pembangunan pembangkit nuklir di Indonesia. Rencana tersebut masih dalam tahap pembahasan, dan keputusan final akan ditentukan setelah penyelesaian Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034.
Pembangunan pembangkit nuklir di Indonesia bertujuan untuk memastikan ketersediaan energi yang cukup dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan di masa depan. Namun, keputusan mengenai pengembangan tersebut masih memerlukan kajian mendalam, baik dari segi teknologi, ekonomi, maupun sosial.
Situasi Perang Dagang Global
Selain membahas transisi energi, Eddy juga mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut menyentuh isu perang dagang global, khususnya terkait dengan kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump. Meskipun isu ini hanya dibahas secara singkat, Indonesia saat ini tengah melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat terkait kebijakan tarif tersebut, dengan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan perundingan selama 60 hari ke depan. (*)
Kategori :