Radarlambar.bacakoran.co- Amerika Serikat kembali menunjukkan taringnya terhadap China. Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, Gedung Putih kini menyiapkan langkah yang lebih keras daripada era Joe Biden dalam membendung laju perkembangan teknologi Negeri Tirai Bambu, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI).
Selama masa kepresidenannya, Biden telah memperketat ekspor chip AI ke China sebagai bagian dari strategi geopolitik yang bertujuan mencegah teknologi tersebut digunakan untuk memperkuat kemampuan militer Beijing. Namun, langkah itu dinilai belum cukup tegas oleh Trump yang kini kembali berkuasa. Pemerintahannya berencana merombak total regulasi ekspor chip dan memperkenalkan sistem yang disebut lebih sederhana, namun jauh lebih efektif dalam menjaga dominasi AS atas teknologi strategis.
Juru bicara Kementerian Perdagangan AS menyebut aturan lama terlalu birokratis dan justru menghambat inovasi domestik. Oleh karena itu, kebijakan baru yang tengah digodok akan lebih menekankan pada penyederhanaan regulasi serta pendekatan langsung antar-pemerintah melalui sistem lisensi global. Tujuan utamanya adalah menjaga supremasi teknologi komputasi AS di tengah kompetisi global yang semakin tajam.
Salah satu perubahan paling signifikan yang disiapkan adalah penghapusan sistem tier negara yang sebelumnya diterapkan. Di era Biden, sistem ini membagi negara ke dalam tiga kelompok, dengan masing-masing memiliki tingkat akses berbeda terhadap chip buatan AS. China, bersama Rusia, Iran, dan Korea Utara, berada di tier 3—kelompok yang mendapat larangan total. Kini, Trump ingin menghapus struktur itu sama sekali, karena dianggap tidak efektif dalam implementasinya dan terlalu mudah dimanipulasi.
Langkah yang kini telah dilakukan adalah pelarangan ekspor chip H20 buatan Nvidia ke China. Chip tersebut sebelumnya dirancang khusus untuk pasar China agar tetap bisa dijual tanpa melanggar aturan yang ada, namun kini langsung diblokir oleh Trump. Ini menjadi sinyal bahwa hubungan dagang dan teknologi antara dua negara ekonomi terbesar dunia ini akan memasuki babak yang lebih keras dan tanpa kompromi.
Meski belum jelas kapan kebijakan baru itu akan diberlakukan, arah kebijakan Washington sudah menunjukkan kejelasan: menutup rapat semua celah yang bisa dimanfaatkan Beijing untuk memperoleh teknologi mutakhir. Bagi China, ini adalah tantangan baru yang datang dari sosok lama yang kembali berkuasa. Sementara bagi AS, ini adalah taruhan besar—antara mempertahankan dominasinya atau justru menghadapi tekanan balik dari pasar global yang semakin kompleks.
Apakah strategi Trump akan benar-benar menjegal laju teknologi China, atau justru menjadi bumerang bagi korporasi raksasa AS seperti Nvidia dan Intel? Dunia kini menunggu jawabannya, dengan kecemasan sekaligus antisipasi.(*)