Radar Lambar - Amanat UU 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 60 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi Pangan dengan membudayakan pola konsumsi Pangan yang Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman (B2SA).
Penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal. Istilah Pangan B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman) memiliki makna: Pangan beragam artinya terdapat bermacam-macam jenis makanan, baik hewani maupun nabati, sebagai sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Makanan yang dikonsumsi harus beragam jenisnya karena tiap makanan memiliki kandungan gizi yang berbeda sehingga kebutuhan gizi kita dapat terpenuhi. Bergizi artinya mengandung zat gizi makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tubuh. Seimbang artinya dikonsumsi secara cukup sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu dengan tetap memperhatikan proporsinya sesuai dengan Isi Piringku. Aman artinya harus bebas dari cemaran fisik, kimia, dan mikrobiologi sehingga proses pengolahan dan penyimpanan makanan harus dilakukan dengan baik. Secara ringkas dapat didefinisikan bahwa Pangan B2SA adalah aneka ragam bahan pangan, baik sumber karbohidrat, protein, maupun vitamin dan mineral, yang bila dikonsumsi dalam jumlah seimbang dapat memenuhi kecukupan gizi yang dianjurkan dan tidak tercemar bahan berbahaya yang merugikan kesehatan.
Pemenuhan kebutuhan pangan sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG) tidak hanya ditekankan pada aspek kuantitas, tetapi juga memperhatikan aspek kualitasnya, termasuk komposisi pangan yang menggambarkan keragaman pangan dan keseimbangan gizi. Konsumsi pangan yang beragam sangat penting karena setidaknya tubuh memerlukan 40 jenis zat gizi yang dapat diperoleh dari berbagai jenis makanan dan minuman. Keragaman dan kesimbangan konsumsi pangan pada tingkat individu dan keluarga akan menentukan kualitas konsumsi pangan pada tingkat wilayah. Kualitas konsumsi pangan di tingkat wilayah secara makro dicerminkan dengan Skor Pola Pangan Harapan (PPH). Sedangkan kualitas konsumsi pangan ditingkat keluarga dan individu berupa asupan makanan sesuai prinsip B2SA dapat diketahui dengan melakukan penilaian konsumsi pangan melalui pendekatan penghitungan porsi. Keragaman dan keseimbangan konsumsi pangan pada tingkat individu dan keluarga merupakan salah satu faktor utama dalam upaya pencegahan terjadinya masalah stunting pada balita. Penurunan prevalensi stunting merupakan indikator utama transformasi sosial pada bidang kesehatan menuju Indonesia Emas Tahun 2045.
Pencapaian Skor PPH (Pola Pangan Harapan)
Tercapainya penganekaragaman konsumsi pangan diukur melalui pencapaian nilai, komposisi, pola pangan dan gizi seimbang. Indikator yang digunakan untuk mengukur pada saat ini adalah Skor PPH. Pencapaian Pola Pangan Harapan adalah indikator kunci penyelenggaraan urusan pangan yang perlu diukur dan dianalisis secara periodik baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai dengan regulasi yang ada. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi situasi dan kebijakan konsumsi pangan, perencanaan penyediaan pangan serta penelitian dan pengembangan bidang pangan. Pemerintah telah menetapkan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) melalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke XI Tahun 2018 yaitu Angka Kecukupan Energi (AKE) sebesar 2.100 kkal/kapita/hr dan Angka Kecukupan Protein (AKP) sebesar 57 gram/kapita/hr. Sedangkan Skor PPH maksimal adalah 100.
Dalam rangka melaksanakan analisis konsumsi pangan tersebut Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Barat menggunakan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) yang dilaksanakan oleh BPS, yang selanjutnya diolah menggunakan Aplikasi Analisa Konsumsi Pangan Berbasih Pola Pangan Harapan. Jenis data yang digunakan adalah data kuantitas konsumsi pangan hasil Susenas. Perkembangan Skor PPH, Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) Kabupaten Lampung Barat dalam 4 tahun terakhir sebagai berikut :
Pada tahun 2024 berdasarkan hasil Survay Sosial ekonomi Nasional (Susenas) Skor PPH di Kabupaten Lampung Barat sebesar 87 poin dari skor ideal 100 poin. Hal ini menunjukkan konsumsi pangan masyarakat belum beragam pada setiap kelompok bahan pangan. Namun demikian rata-rata Konsumsi Energi dan Konsumsi Protein telah mendekati konsumsi ideal. Seiring dengan peningkatan ekonomi dan perkembangan teknologi informasi yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat maka kesadaran akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman diharapkan akan semakin baik.
Salah satu masalah gizi di Kabupaten Lampung Barat dan di Indonesia pada umumnya yang masih menjadi perhatian utama saat ini adalah balita pendek (stunting). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Barat, prevalensi stunting di Kabupaten Lampung Barat tahun 2024 sebesar 20,5 %. Ada beberapa faktor penyebab stunting pada balita diantaranya adalah pola asuh, sanitasi lingkungan dan kurangnya asupan makanan begizi seimbang yang disebabkan rendahnya akses pangan dan rendahnya pengetahuan keluarga tentang gizi dan cara pengolahan makanan yang baik.
Upaya yang dilakukan dalam rangka perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat tentunya tidak terlepas dari peran stakeholder terkait, baik stakeholder yang berperan pada aspek ketersediaan pangan, akses pangan maupun pemanfaatan pangan. Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu stakeholder yang membidangi urusan pangan yang didalamnya bertanggung jawab untuk merencanakan dan mengkoordinasikan upaya percepatan penganekaragaman dan perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan keberhasilan hal dimaksud, upaya yang dilakukan oleh Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Barat pada Tahun 2025 diantaranya adalah :