RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) RI yang tidak lagi mengucurkan dana untuk pembangunan atau rehabilitasi bangunan yang berdiri di atas tanah wakaf menuai kritik. Aturan ini mengharuskan seluruh pembangunan hanya dilakukan di atas tanah dengan sertifikat hak milik (SHM) atas nama Kemenag.
Kebijakan tersebut dinilai merugikan institusi Kemenag sendiri, mengingat mayoritas bangunan madrasah negeri dan kantor KUA di berbagai daerah—termasuk di Way Kanan—selama ini berdiri di atas tanah wakaf, baik wakaf dari kampung maupun perseorangan.
“Dulu Kemenag justru mendorong program sertifikasi tanah wakaf. Sekarang malah menyatakan tidak bisa membangun di atas tanah wakaf kecuali sudah dialihkan menjadi milik Kemenag. Ini fenomena simalakama. Untuk apa tanah wakaf itu dibangun madrasah atau KUA kalau ujung-ujungnya tidak bisa diperbaiki dengan dana negara? Apakah masyarakat disuruh membangun sendiri madrasah atau kantor yang jelas-jelas milik Kemenag?” keluh salah satu pegawai Kemenag di Way Kanan yang enggan disebutkan Namanya.
Ia menambahkan, sebelumnya setiap pembangunan madrasah atau kantor KUA justru diwajibkan melampirkan surat wakaf. Namun, peraturan baru kini melarang pembangunan maupun rehabilitasi di atas lahan wakaf sebelum statusnya diubah menjadi SHM milik Kemenag. Akibatnya, bangunan yang masih aktif digunakan tidak bisa tersentuh perbaikan atau pembangunan dengan dana negara.
Herman, wali murid MIN 1 Way Kanan, khawatir kebijakan ini akan mematikan keberlangsungan pendidikan madrasah negeri.
“Kalau begini, madrasah negeri yang berdiri di atas tanah wakaf bisa bubar. Wali murid jangankan membangun atau memperbaiki, untuk biaya keperluan sekolah anaknya saja sering tidak mampu. Ini bisa jadi upaya yang secara tidak langsung menghancurkan masa depan anak-anak yang bersekolah di madrasah negeri,” tegasnya.
Terpisah, Kepala Kemenag Way Kanan, Hi. Masir Ibrahim, membenarkan bahwa khusus pembangunan menggunakan skema Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), regulasi memang belum mengakomodasi tanah wakaf.
“SBSN hanya bisa meng-cover bangunan atau tanah yang berasal dari hibah masyarakat. Untuk rehab kantor pun sangat sulit sekali mendapat bantuan pemerintah. Pengalaman kami, setiap usulan selalu belum berhasil, apalagi sekarang musim efisiensi anggaran,” jelasnya.
Ia menegaskan, pengajuan melalui SBSN tidak bisa langsung disetujui. Banyak faktor yang menjadi penentu, seperti kelengkapan administrasi, urgensi, dan kesesuaian kebutuhan.
“Ini dilema bagi kami di Kemenag. Di satu sisi bangunan butuh perbaikan, tapi dana tidak ada,” pungkas Masir Ibrahim.(*/rlmg)