Sidang Korupsi Akuisisi PT Jembatan Nusantara: Hakim Soroti Penilaian Aset yang “Dimaksimalkan”

Minggu 17 Aug 2025 - 18:37 WIB
Reporter : Rinto Arius

Radarlambar.bacakoran.co – Persidangan kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025). Agenda kali ini menghadirkan tiga penilai dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) MBPRU, yang dimintai keterangan terkait proses valuasi aset PT JN dalam akuisisi yang dilakukan oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).

Namun, jalannya persidangan diwarnai teguran dari majelis hakim. Sorotan tertuju pada hasil penilaian aset yang disebut tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, melainkan dinaikkan atau “dimaksimalkan”. Langkah ini dinilai hakim berpotensi memengaruhi keputusan bisnis ASDP dalam proses akuisisi tersebut.

Latar Belakang Penilaian

Ketiga penilai yang dihadirkan, yakni Endra Supriyanto, Ahsin Silahudin, dan Kokoh Pribadi, merupakan pihak yang bertugas melakukan due diligence sebelum akuisisi PT JN. Tugas mereka adalah menghitung nilai aset secara objektif dan profesional sebagai dasar pertimbangan negosiasi harga.

Namun, dari pemeriksaan di persidangan, terungkap bahwa penilaian yang dilakukan merujuk pada data sebelumnya dari KJPP lain yang sempat menaksir aset PT JN senilai Rp 2,2 triliun. Nilai itu kemudian dijadikan acuan tanpa penyesuaian berarti, sehingga hasil akhirnya jauh dari gambaran kondisi riil perusahaan, termasuk umur kapal yang sudah menua.

Hakim menilai tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip profesionalisme penilai publik. Dalam pandangan majelis, tugas penilai seharusnya memberikan estimasi apa adanya, meskipun nilainya lebih rendah, agar pihak BUMN seperti ASDP memiliki ruang negosiasi yang lebih rasional.

Potensi Pengaruh Terhadap Keputusan

Penilaian aset yang “dimaksimalkan” dianggap dapat memberi bias dalam proses pengambilan keputusan. Angka tinggi yang dihasilkan bisa mendorong manajemen BUMN membayar lebih mahal untuk akuisisi, padahal nilai ekonomis aset yang dibeli—terutama kapal—jauh lebih rendah.

Di persidangan, para penilai mengaku hanya menjalankan tugas sesuai arahan, tanpa mempertimbangkan bahwa hasil valuasi akan menjadi bahan penentu kebijakan strategis ASDP. Mereka beralasan penilaian dilakukan mengacu pada kode etik profesi, tetapi hakim menegaskan bahwa alasan tersebut tidak menghapus tanggung jawab moral untuk menjaga obyektivitas.

Majelis bahkan menyinggung bahwa percakapan internal para penilai yang terungkap dalam bukti chat memperlihatkan adanya gejolak batin. Hal ini ditafsirkan sebagai indikasi bahwa para penilai sebenarnya menyadari adanya masalah dalam proses tersebut, meskipun enggan mengakuinya di ruang sidang.

Kerugian Negara

Kasus ini berawal dari akuisisi saham PT JN yang dilakukan ASDP pada periode 2019–2022. Menurut dakwaan Jaksa KPK, pembelian tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,253 triliun. Nilai kerugian dihitung berdasarkan Laporan Hasil Audit yang diterbitkan pada 28 Mei 2025.

Jaksa memaparkan bahwa kapal-kapal yang dibeli dalam proses akuisisi tersebut dalam kondisi tidak layak, bahkan ada yang sudah karam. Meski begitu, proses pembelian tetap berjalan, diduga karena adanya kerja sama antara direksi ASDP dan pemilik manfaat (beneficial owner) PT JN, bernama Adjie.

Tiga mantan petinggi ASDP—yakni mantan Direktur Utama Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono—duduk di kursi terdakwa. Mereka didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Arah Persidangan Selanjutnya

Kategori :