Jejak Orde Baru di Balik Rusaknya Hutan TNBBS

Minggu 14 Sep 2025 - 16:21 WIB
Reporter : Edi Prasetya
Editor : Lusiana Purba

BANDARNEGERI SUOH – Kerusakan ribuan hektare hutan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), khususnya di Kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS) Kabupaten Lampung Barat kerap menjadi sorotan publik. Namun, jejak sejarah menunjukkan bahwa hilangnya tutupan hutan di wilayah ini bukanlah fenomena baru, melainkan warisan panjang dari praktik eksploitasi Orde Baru pada 1970–1980-an.

Anggota DPRD Lampung Barat dari Dapil Suoh–BNS, Sugeng Kinaryo Adi, mengungkapkan bahwa kerusakan hutan di wilayah itu bermula dari aktivitas PT Tanjung Jati milik Nyonya Awi pada dekade 1970-an.

“Pada tahun 1970, dari Kota Agung Utara sampai ke Bumi Suoh sudah dibabat habis oleh PT Tanjung Jati. Itu bukan cerita kosong, sebab sampai sekarang masyarakat masih menemukan besi tua, sisa alat berat, hingga bekas lapangan yang dibuat perusahaan tersebut di dalam kawasan hutan,” ujar Sugeng.

Pada masa Orde Baru, pemerintah memberi izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada perusahaan-perusahaan besar untuk mengekstraksi kayu komersial. PT Tanjung Jati menjadi salah satu perusahaan yang mengeruk kayu hutan primer secara masif.

Jalan-jalan logging yang dibuka perusahaan itu kemudian justru membuka akses luas ke dalam kawasan hutan. Setelah perusahaan selesai menebang, barulah masyarakat mulai masuk untuk menggarap lahan yang ditinggalkan, sebagian besar ditanami kopi robusta.

“Jadi, kalau sekarang ada yang menyalahkan masyarakat sepenuhnya, itu keliru. Akar kerusakan justru berasal dari kebijakan dan praktik pembalakan pada masa lalu. Masyarakat saat ini pada dasarnya hanya mengelola lahan sisa,” jelas Sugeng.

Meski kerusakan utama merupakan warisan lama, Sugeng mengingatkan agar pembukaan lahan baru harus ditindak tegas. “Saya mendapat informasi ada pembukaan sekitar 15 hektare di atas Bukit Medati. Kalau benar, aparat harus bertindak. Kalau ada oknum yang ikut bermain mata, itu juga harus ditindak,” tegasnya.

Sejarah panjang ini menunjukkan bahwa kerusakan TNBBS bukan sepenuhnya ulah masyarakat masa kini. “Hilangnya ribuan hektare hutan di Suoh–BNS adalah warisan masa lalu. Masyarakat sekarang jangan serta-merta disalahkan. Tapi kalau ada yang merambah baru, tentu harus ada tindakan hukum,” pungkas Sugeng.

Berdasarkan data Balai Besar TNBBS, hingga 2022 di wilayah Suoh dan BNS terdapat 11.102 hektare lahan terbuka yang dihuni sekitar 4.517 kepala keluarga (KK). Secara keseluruhan, luas perambahan di kawasan TNBBS mencapai 29.207,45 hektare, ditempati sekitar 16.360 KK.

Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan inilah yang kini memperburuk fungsi kawasan sebagai daerah tangkapan air. Dampaknya nyata: banjir bandang di Suoh dan BNS beberapa waktu lalu, serta meningkatnya intensitas konflik satwa liar seperti gajah dan harimau dengan warga. (edi/lusiana)

Kategori :