Berikut ini Upacara Adat Maluku yang masih di lestarikan hingga sekarang
Foto : ilustrasi google--
Radarlambar.Bacakoran.co - Sebagai salah satu provinsi di Indonesia, ternyata Maluku memiliki upacara adat yang masih dilakukan hingga kini untuk melestarikan budaya masyarakat setempat. Bahkan, di Maluku juga memiliki beberapa macam upacara adat yang dilaksanakan secara berbeda-beda.
Bahkan, setiap upacara adat yang dilaksanakan ternyata memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tidak hanya itu, ternyata setiap upacara adat itu memiliki keunikan tersendiri.
Berikut adalah beberapa upacara adat di Maluku seperti upacara makan patita yaitu upacara adat makan bersama yang dilaksanakan hingga sekarang oleh masyarakat Maluku yang dilakukan pada saat perayaan hari besar, seperti Hari Ulang Tahun Kota, Hari Kemerdekaan Indonesia, perayaan hari besar atau hari jadi tempat ibadah.pada uapacara itu disajikan sejumlah menu makanan seperti ikan asar, patatas rebus, papeda, sayur mayur dan lain sebagainya.
Selain itu, ada juga budaya hawear berasal dari sejarah yang dipercaya sudah ada oleh masyarakat kepulauan Kei secara turun-temurun. Upaca itu mengisakan seorang gadis yang dititipkan oleh Hawear (janur kuning) oleh ayahnya agar dia tidak terganggu selama perjalanan panjangnya untuk menemui Raja.
Hal itu juga dimaksudkan sebagai simbol kepemilikan yang menandakan bahwa gadis itu telah dimiliki oleh seseorang. Sehingga Hawear yang dibawa oleh gadis itu diharapkan dapat melindunginya dari gangguan orang asing.
Ada juga Upacara Adat mencuci tanah kedelai, yaitu upacara adat membersihkan tanah air. Bahkan, upacara itu juga dimaksudkan untuk mensucikan diri dari perasaan dengki, permusuhan atau kecurigaan.
Biasanya upacara adat itu dilakukan di Minggu kedua bulan Desember yang dipimpin oleh Upulatu atau raja. Terdapat sejumlah urutan yang harus di jalankan dalam upacara adat mencuci tanah Soya yaitu membersihkan tanah, mendaki gunung sirimau, upacara adat mencuci tanah, mencuci air (Wai Werhalouw dan Unuwei) dan memasuki kain gandong. Bahkan, kebiasaan mencuci tanah kedelai juga telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2015 yang lalu oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan, kala itu.
Upacara adat mencuci tanah kedelai ternyata bukan hanya sebagai warisan turun temurun, tapi juga adat yang dimaksudkan untuk melestarikan kehidupan dan menghidupkan nilai-nilai positif yang selalu diingat oleh generasi mendatang.
Selain itu ada juga upacara adat Arumbae yaitu suatu simbol budaya masyarakat Maluku yang profesinya sebagian besar sebagai seorang pelaut atau nelayan. Budaya arumbae ternyata menjadi simbol masyarakat Maluku yang dinamis dan memiliki nilai juang yang sangat tinggi.
Bahkan, ternyata ada juga upacara adat yang dilakukan untuk mengenang Pattimura seorang pahlawan dari Maluku yang berjuang dalam melawan penjajah. Biasanya upacara itu diperingati setiap tanggal 15 Mei dengan menggelar pawai obor. Dalam prosesi acara kerjasama antara masyarakat dan pemerintah daerah, ada kegiatan lari obor. Lomba obor itu dimulai dari Pulau Saparua sampai ke Pulau Ambon, lalu pelari akan diarak menuju Kota Ambon.
Selain itu ada juga upacara adat Fangnea Kidabela dapat ditemukan di Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara. Upacara itu bertujuan untuk mempererat hubungan sosial di daerah tersebut. Bahkan, di Maluku Tenggara Barat ternyata terdapat budaya mengorganisir persaudaraan dalam bentuk daun Lolat dan Kidabela. Daun Lolat berfungsi untuk mengatur hubungan sosial masyarakat yaitu antara dua desa atau lebih yang di wujudkan sebagai kidabela.
Batu Pamali adalah sebagai representasi dari keberadaan nenek moyang para leluhur Tete dan Nene didalam kehidupan masyarakat Maluku. Bentuk dari batu pamali itu berupa alas atau tumpuan yang diletakkan di samping rumah Baileo. Batu pamali merupakan bentuk pemersatu atau sistem perbedaan dari soa-soa (kelompok masyarakat-Red) dalam suatu desa.
Di sebuah desa di Maluku, ternyata Batu Pamali diakini oleh seluruh warga desa, meski berasal dari berbagai kalangan, termasuk perbedaan agama. Seiring dengan perkembangan zaman dan kepercayaan masyarakat, ternyata terjadi pergeseran makna dan praktik ritual keberadaan Batu Pamali ini.(*)