Penghapusan Presidential Threshold Memperluas Koalisi Partai Politik, Menurut Peneliti BRIN

Wasisto Raharjo Jati, seorang Peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), b--

Radarlambar.bacakoranco -Wasisto Raharjo Jati, seorang Peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), berpendapat bahwa pembatalan ketentuan Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden, yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dapat memperluas peta koalisi partai politik. Kebijakan tersebut diyakini akan menciptakan ruang bagi lebih banyak pasangan calon (paslon) untuk maju dalam Pemilu, yang pada gilirannya akan memperkaya variasi pilihan politik bagi pemilih. Ini memberikan peluang bagi calon presiden dari berbagai partai tanpa batasan elektoral yang kaku seperti sebelumnya.

Demokrasi dan Praktik Kartel Politik

Menurut Wasisto, praktik demokrasi di Indonesia saat ini sarat dengan fenomena kartel politik, di mana kerja sama antarpartai lebih banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan di parlemen, bukan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berpotensi menciptakan pemerintahan yang tidak sehat karena lebih mengutamakan kepentingan politik antarpartai daripada kebutuhan rakyat.

Dampak Pembatalan Presidential Threshold

Dengan dibatalkannya ketentuan Presidential Threshold oleh MK, Wasisto memprediksi bahwa lebih banyak pasangan calon akan muncul dalam Pemilu mendatang. Sebelumnya, hanya dua atau tiga pasangan calon yang bersaing, namun dengan kebijakan baru ini, pemilih akan dihadapkan pada beragam pilihan kandidat yang lebih banyak. Hal ini diharapkan memberikan variasi dalam pilihan politik bagi pemilih untuk memilih calon yang paling sesuai dengan hati nurani mereka.

Meskipun begitu, ia juga mencatat bahwa munculnya berbagai kandidat ini tidak akan didorong oleh keputusan yang berlandaskan pada kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Sebaliknya, partai politik akan lebih memperhitungkan popularitas dan elektabilitas kandidat yang diusung. Dengan demikian, keputusan untuk mencalonkan pasangan calon presiden akan lebih berbasis pada faktor elektabilitas dan daya tarik kandidat di mata publik, bukan hanya pada kekuatan koalisi partai.

Meningkatkan Elektabilitas Kandidat

Wasisto menekankan bahwa ke depan, elektabilitas kandidat akan menjadi faktor dominan dalam menentukan koalisi dan pencalonan presiden. Dengan kata lain, dalam pemilu mendatang, partai politik tidak lagi menjadi penentu utama dalam menentukan pasangan calon presiden, tetapi lebih pada popularitas kandidat yang diyakini akan meningkatkan elektabilitas mereka di mata pemilih. Hal ini membuka peluang bagi lebih banyak koalisi antarpartai yang mungkin terbentuk berdasarkan potensi kemenangan kandidat, bukan sekadar kekuatan politik internal.

Keputusan MK Terkait Presidential Threshold

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 222 dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang sebelumnya mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden, telah memicu berbagai reaksi dari kalangan partai politik. Sebelumnya, Pasal 222 mensyaratkan agar pasangan calon presiden dan wakil presiden didukung oleh setidaknya 20% kursi DPR RI atau 25% suara sah nasional berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya. Dengan penghapusan ambang batas tersebut, kini setiap partai politik peserta Pemilu memiliki hak untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa batasan apapun.

Respons PDIP dan Pihak Terkait

Beberapa pihak, termasuk PDIP, menyatakan bahwa mereka menghormati keputusan MK mengenai pembatalan Presidential Threshold. Keputusan ini membuka lebih banyak peluang bagi partai politik untuk mencalonkan kandidat presiden dan wakil presiden tanpa terhalang oleh batasan-batasan yang sebelumnya berlaku. Hal ini dianggap akan membawa dinamika baru dalam Pemilu yang akan datang, dengan lebih banyak pilihan kandidat yang bisa lebih mencerminkan kehendak masyarakat.

Dengan pembatalan Presidential Threshold, banyak pihak berharap bahwa Pemilu berikutnya akan semakin dinamis, dengan lebih banyak pilihan kandidat yang lebih representatif terhadap kehendak masyarakat. Meskipun demikian, pembatalan ini juga berpotensi membawa perubahan dalam strategi koalisi politik yang semakin kompleks, mengingat setiap partai akan lebih fokus pada popularitas dan elektabilitas kandidat untuk membangun koalisi yang kuat. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan