PMI Manufaktur Kembali Terpuruk, Terburuk Sejak Pandemi Covid-19

Manufaktur. -Foto freepik---

Radarlamnar.bacakoran.co - Aktivitas sektor manufaktur Indonesia kembali mengalami kontraksi signifikan pada April 2025. Data terbaru dari S&P Global menunjukkan bahwa indeks Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia turun menjadi 46,7, mencatatkan kinerja terendah sejak Agustus 2021, ketika negara masih bergulat dengan dampak gelombang Delta Covid-19.

Penurunan ini mengakhiri periode ekspansi selama empat bulan berturut-turut dari Desember 2024 hingga Maret 2025. Kontraksi terbaru ini juga merupakan yang pertama sejak November 2024, menandakan adanya tekanan yang makin besar pada sektor industri.

Secara metodologis, PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Angka di atas 50 menandakan ekspansi aktivitas industri, sementara di bawah 50 berarti sektor tersebut sedang menyusut. Dengan nilai 46,7, data bulan April menunjukkan pelemahan yang nyata dalam kinerja manufaktur.

Pelemahan ini dipicu oleh penurunan tajam dalam volume produksi dan pesanan baru. Para pelaku industri merespons kondisi ini dengan memangkas pembelian bahan baku dan mengurangi jumlah tenaga kerja, sebagai bagian dari upaya efisiensi di awal kuartal kedua.

Banyak perusahaan juga mulai mengurangi persediaan mereka. Stok bahan baku dan barang jadi digunakan untuk menyelesaikan produksi dan memenuhi sisa pesanan yang ada, alih-alih menambah cadangan baru.

Salah satu faktor eksternal yang turut memperparah kondisi adalah penguatan dolar Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan naiknya harga barang impor, yang pada akhirnya mendorong perusahaan menaikkan harga jual produk mereka untuk menjaga margin keuntungan. Data menunjukkan bahwa sepanjang April 2025, rupiah terdepresiasi sebesar 0,24%, dan jika dihitung sejak awal tahun, nilainya sudah melemah sebesar 3,14%.

Di sisi permintaan, penurunan permintaan pasar terjadi tidak hanya di dalam negeri tetapi juga dalam pasar ekspor. Volume pesanan ekspor bahkan tercatat turun untuk kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir. Produsen pun mulai mengalihkan kapasitas mereka untuk menyelesaikan pesanan lama akibat sepinya permintaan baru, yang memberi indikasi bahwa tekanan terhadap sektor ini bisa terus berlanjut dalam waktu dekat.

Kendati demikian, masih ada optimisme di antara pelaku usaha. Mereka memperkirakan bahwa dalam jangka satu tahun ke depan, kondisi akan membaik, ditopang oleh pemulihan ekonomi dan meningkatnya daya beli masyarakat. Namun demikian, banyak perusahaan juga mulai menurunkan ekspektasi mereka, karena ketidakpastian waktu pemulihan masih membayangi.

Langkah efisiensi juga terlihat dari penurunan aktivitas pembelian, yang merupakan penurunan pertama dalam enam bulan terakhir. Selain itu, stok barang baik sebelum maupun sesudah produksi ikut menurun, mengikuti melemahnya permintaan dan turunnya produksi.

Di sisi lain, berkurangnya tekanan terhadap kapasitas produksi memberi dampak positif bagi rantai pasok. Untuk pertama kalinya sejak November tahun lalu, waktu pengiriman barang mengalami perbaikan meski dalam skala kecil.

Efek Terhadap Tenaga Kerja dan Harga

Akibat turunnya permintaan, sejumlah perusahaan mulai melakukan pengurangan tenaga kerja, meskipun dalam jumlah kecil. Ini merupakan kali pertama dalam lima bulan terakhir terjadi penurunan jumlah pekerja. Perusahaan juga mulai mengalihkan tenaga kerja yang ada untuk menyelesaikan backlog pekerjaan yang tertunda.

Sementara itu, biaya produksi mengalami kenaikan cukup tajam akibat penguatan dolar AS, meski laju kenaikannya masih berada di bawah rata-rata jangka panjang. Inflasi input ini menjadi yang paling ringan sejak Oktober 2020. Sebagai respons, perusahaan menaikkan harga jual untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut, dan dengan laju tercepat sepanjang tahun ini.

Harapan dan Tantangan ke Depan

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan