Bahaya RUU Minerba, Perguruan Tinggi Diizinkan Kelola Tambang

Ilustrasi Bahaya RUU Minerba,Perguruan Tinggi Diizinkan Kelola Tambang. -Foto Dok---

Radarlambar.bacakoran.co - Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang tengah dibahas DPR mengandung klausul kontroversial yang memungkinkan perguruan tinggi di Indonesia untuk ikut mengelola kegiatan pertambangan, termasuk batubara. Kebijakan ini berpotensi mengubah peran dan fokus pendidikan tinggi di tanah air, bahkan menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan, baik dari legislatif, akademisi, hingga masyarakat umum.

Kehadiran aturan ini bermula dari keinginan DPR untuk merevisi RUU Minerba meskipun tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2025. Rapat terkait revisi ini berlangsung pada Senin (20/1) di Kompleks Parlemen, Jakarta, dan dalam pertemuan tersebut, ada usulan untuk memperluas kewenangan dalam pengelolaan tambang. Awalnya, kewenangan tersebut hanya diberikan kepada perusahaan swasta dan organisasi masyarakat berbasis agama. Namun, dalam revisi yang diajukan, perguruan tinggi pun disertakan sebagai pihak yang diizinkan untuk mengelola tambang.

Meskipun baru berada pada tahap draf, aturan ini menuai banyak kritik. Banyak pihak mempertanyakan apakah perguruan tinggi yang seharusnya fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan pencetakan sumber daya manusia (SDM) unggul, akan terganggu independensinya dengan melibatkan diri dalam dunia pertambangan yang sarat dengan kepentingan ekonomi. 

Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian, menyuarakan kekhawatirannya. Ia menekankan bahwa perguruan tinggi harus tetap menjaga prinsip independensi dan tidak terjebak dalam kepentingan segelintir pihak yang ingin meraih keuntungan dari sektor pertambangan.

Penolakan terhadap kebijakan ini juga datang dari sejumlah universitas. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, misalnya, menegaskan bahwa aktivitas pertambangan memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. 

Ia khawatir, apabila perguruan tinggi terlibat dalam bisnis ini, temuan saintifik terkait dampak buruk tambang bisa diabaikan demi kepentingan ekonomi. Dalam pandangannya, perguruan tinggi seharusnya berfokus pada penciptaan ilmu pengetahuan dan riset, bukan terlibat langsung dalam pengelolaan bisnis tambang.

Namun, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menanggapi kekhawatiran ini dengan menegaskan bahwa aturan ini dimaksudkan untuk mendukung kebutuhan finansial perguruan tinggi. Menurutnya, banyak universitas yang menghadapi kesulitan dalam pembiayaan, sehingga keterlibatan dalam sektor pertambangan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan pendapatan.

Namun, para pengamat ekonomi dan pendidikan, seperti Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai bahwa kebijakan ini justru bisa menyalahi peran dan fungsi perguruan tinggi. Andry berpendapat bahwa perguruan tinggi seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan bisnis, apalagi pertambangan. 

Sebaliknya, kampus harus fokus pada riset yang dapat mendukung sektor pertambangan dengan menciptakan inovasi dan mengembangkan SDM yang kompeten untuk industri tersebut. Menurutnya, ada banyak negara yang mampu menyediakan pendidikan tinggi dengan biaya rendah atau bahkan gratis tanpa perlu melibatkan universitas dalam bisnis tambang.

Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, juga menilai bahwa revisi RUU Minerba akan merusak kredibilitas pendidikan tinggi di Indonesia. Ia mengkhawatirkan bahwa perguruan tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), akan kehilangan fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan justru lebih sibuk mengelola bisnis tambang. Hal ini bisa merusak kualitas pendidikan yang seharusnya mengutamakan penelitian dan pengajaran, bukan keuntungan finansial dari sektor ekstraktif.

Selain itu, Darmaningtyas juga menilai bahwa kebijakan ini dapat menghilangkan kebebasan akademik di kampus-kampus Indonesia. Jika perguruan tinggi terlibat dalam bisnis pertambangan, daya kritis kampus terhadap pemerintah dan kebijakan-kebijakan publik bisa terhambat.

 Ia khawatir bahwa para akademisi akan terpaksa melakukan self-censorship atau menyensor diri mereka sendiri demi menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam industri pertambangan.

Kekhawatiran tentang dampak negatif dari kebijakan ini semakin menguat mengingat sektor pertambangan sering kali dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia. Jika perguruan tinggi terlibat langsung dalam pengelolaan tambang, akan sangat sulit untuk memastikan bahwa kegiatan pertambangan dilakukan dengan mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan dan perlindungan terhadap masyarakat serta lingkungan sekitar.

Pada akhirnya, meskipun revisi RUU Minerba ini bertujuan untuk memberikan solusi terhadap keterbatasan dana di perguruan tinggi, banyak pihak yang menilai bahwa melibatkan kampus dalam pengelolaan tambang bukanlah langkah yang tepat. Sebaliknya, negara harus mencari cara-cara lain yang lebih efektif untuk mendanai pendidikan tinggi, tanpa mengorbankan independensi akademik dan kualitas pendidikan di Indonesia.(*/adi)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan