Malaysia Deportasi 68 Pekerja Migran Indonesia (PMI) Ilegal Melalui Pelabuhan Dumai

BP3MI Riau kembali menerima 68 PMI ilegal yang dideportasi dari Malaysia melalui pelabuhan Dumai, Sabtu 22 Februari 2025 kemarin.//Foto:dok/net.--
Radarlambar.Bacakoran.co - Sebanyak 68 pekerja migran Indonesia (PMI) yang mengalami kendala dalam perizinan dan dokumen dideportasi oleh pihak berwenang Malaysia pada Sabtu 22 Februari 2025 kemarin. Pemulangan mereka dilakukan menggunakan kapal Indomal Kingdom yang menuju Pelabuhan Internasional Dumai, Riau.
Kepala Balai Pelayanan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Riau, Fanny Wahyu Kurniawan, Minggu 23 Februari 2025 menjelaskan bahwa para PMI yang dideportasi ini sebelumnya telah menjalani proses hukum di Depot Tahanan Imigresen (DTI) Kemayan, Pahang, Malaysia.
Menurut Fanny, sebanyak 68 PMI yang dipulangkan itu termasuk 17 di antaranya adalah perempuan. Mereka dideportasi karena permasalahan dokumen dan telah menyelesaikan hukuman mereka di Malaysia.
Dikatakannya, PMI Ilegal yang dideportasi itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Jumlah terbanyak berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan 17 orang, diikuti oleh Jawa Timur (11 orang), Aceh (10 orang), Sumatera Utara (8 orang), Lampung (2 orang), Jambi (3 orang), serta daerah lainnya seperti Sumatera Barat, NTT, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang masing-masing mengirimkan dua orang. Sementara itu, Riau, Kepulauan Riau, dan Sulawesi masing-masing mengirimkan tiga orang.
"Saat ini, sebagian dari mereka telah kembali ke daerah asal, sementara yang lainnya masih menunggu keberangkatan di shelter P4MI Dumai," tambahnya.
Sejak Januari 2025, BP3MI Riau telah menerima 359 PMI ilegal yang dideportasi dari Malaysia.
Pengalaman PMI Ilegal di Malaysia
Salah seorang PMI ilegal asal Madura, Jawa Timur, Solihin, menceritakan pengalaman pahitnya selama ditahan di Depot Tahanan Imigresen Kemayan, Pahang. Solihin, yang berangkat ke Malaysia secara legal pada tahun 2022, terpaksa berurusan dengan hukum setelah permit kerjanya kedaluwarsa.
"Saya diperlakukan sangat tidak manusiawi di sana. Saya dipukuli hanya karena melakukan kesalahan kecil. Saya dipukuli hingga kepala saya terbentur besi, dan saya merasa sangat trauma," kenangnya.
Solihin mengungkapkan bahwa meski berangkat secara legal, ia ditangkap setelah agen yang menguruskan permitnya menipu dengan meminta uang tanpa mengurus dokumen tersebut. Akibatnya, Solihin harus mendekam di penjara selama tiga setengah bulan.
Sementara itu, Effendi, PMI asal Lombok, menceritakan pengalaman serupa. Ia datang ke Malaysia secara ilegal pada tahun 2019 melalui jalur Batam dan bekerja sebagai buruh perkebunan sawit dengan imbalan RM 3.000 per bulan. Effendi dibawa oleh tekong yang membawanya ke Batam dengan biaya Rp 14 juta per orang.
Menurut Effendi, setelah sampai di Johor, dirinya bekerja di Pahang dengan gaji yang tidak sebanding. Semua biaya perjalanan dibayar dengan uang yang ia pinjam.
Fatimah, seorang ibu rumah tangga asal Lombok, juga berbagi cerita mengenai penipuan yang dialaminya. Ia dijanjikan pekerjaan di Malaysia setelah membayar Rp 10 juta kepada tekong, namun pada akhirnya uangnya disalahgunakan.
"Saya sempat tinggal di Medan selama lebih dari sebulan, namun tekong tidak menepati janjinya. Uang saya hilang begitu saja," ujar Fatimah.
Tantangan Pemulangan PMI Ilegal
Masih banyak PMI ilegal yang terkatung-katung di Depot Kemayan, meski masa tahanan mereka sudah selesai. Banyak dari mereka yang terhambat untuk pulang karena masalah biaya transportasi.
"Saat masa tahanan selesai, banyak yang terpaksa menunggu karena tidak memiliki uang untuk kembali ke Indonesia. Mereka bahkan menunggu berbulan-bulan di Depot Kemayan," ujar Fatimah, yang berharap pemerintah Indonesia dapat memberikan bantuan untuk memfasilitasi pemulangan mereka.
Berdasarkan pengalaman pribadi, Fatimah juga membandingkan perlakuan pemerintah Arab Saudi, yang memulangkan PMI legal maupun ilegal tanpa biaya.
"Di Arab Saudi, pemulangan dilakukan secara gratis. Saya berharap pemerintah Indonesia dapat memfasilitasi hal yang sama bagi PMI yang terhambat keuangannya untuk pulang," harap Fatimah.
Pemerintah Indonesia diharapkan lebih memberikan perhatian terhadap nasib PMI ilegal yang terjebak di luar negeri, terutama yang terkendala masalah biaya pemulangan. Hal ini menjadi isu penting untuk meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri.(*)