Putra Mahkota Keraton Solo Kritisi Pemerintah: "Nyesel Gabung Republik"

Putra Mahkota Keraton Solo Kritisi Pemerintah: "Nyesel Gabung Republik". Foto/net--

Radarlambar.bacakoran.co -Pernyataan mengejutkan yang dilontarkan oleh Putra Mahkota Keraton Surakarta, KGPAA Hamengkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, menjadi sorotan publik setelah ia mengunggah kata-kata "Nyesel Gabung Republik" di akun Instagram pribadinya. Unggahan tersebut, yang kini telah dihapus, memunculkan berbagai spekulasi dan perdebatan terkait kondisi sosial-politik Indonesia saat ini.

Kritik terhadap Pemerintahan Saat Ini
Menurut klarifikasi yang diberikan oleh pihak Keraton Surakarta melalui Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Pangeran Aryo Dany Nur Adiningrat, unggahan tersebut merupakan bentuk kritik terhadap kekecewaan yang dirasakan KGPAA Hamengkunegoro terhadap tata kelola pemerintahan Indonesia. Kritik ini muncul terkait berbagai masalah yang terjadi di masyarakat, seperti kasus oplosan BBM oleh Pertamina yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat.

Dany juga menegaskan bahwa pernyataan "Nyesel Gabung Republik" tidak dimaksudkan sebagai ungkapan hilangnya semangat nasionalisme, tetapi lebih kepada sindiran terhadap para penyelenggara negara yang dianggap tidak memenuhi harapan rakyat, termasuk memperlakukan Keraton Surakarta yang telah berjuang untuk Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan.

Sejarah Kasunanan Surakarta dalam Kemerdekaan Indonesia
Sejarah menunjukkan bahwa Kasunanan Surakarta adalah salah satu wilayah yang lebih dulu bergabung dengan Republik Indonesia, jauh sebelum Kesultanan Yogyakarta. Pada 5 September 1945, Surakarta menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia, dan menjadi bagian penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Namun, setelah kemerdekaan, muncul gejolak sosial di Surakarta, terutama dari kelompok-kelompok kiri yang menentang sistem swapraja dan feodalisme yang masih berlaku di Keraton. Kondisi ini mengarah pada penangguhan status keistimewaan Surakarta pada Juli 1946 oleh pemerintah pusat, meskipun sebelumnya Keraton Surakarta turut serta dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda.

Tanggapan Masyarakat terhadap Kritikan Putra Mahkota
Masyarakat Surakarta sendiri memiliki pandangan yang bervariasi terkait Keraton. Beberapa kalangan merasa jengah dengan konflik internal yang terus terjadi di Keraton sejak wafatnya Pakubuwono XII pada 2004. Hal ini memperburuk citra Keraton sebagai simbol kebudayaan, meskipun sebagian besar masyarakat tradisional masih menghormati institusi tersebut.

Dari perspektif sosiologis, Rezza Dian Akbar, seorang sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, berpendapat bahwa unggahan KGPAA Hamengkunegoro hanya akan viral sesaat dan tenggelam seiring waktu. Namun, ia juga menyoroti bagaimana pernyataan tersebut menggambarkan kekecewaan masyarakat terhadap situasi politik dan ekonomi saat ini.

Kritik terhadap Pemerintah Pusat
Perkataan "Percuma Republik Kalau Cuma Untuk Membohongi" yang juga diunggah oleh KGPAA Hamengkunegoro menambah intensitas kritik terhadap pemerintah yang dianggap tidak menepati janji-janji mereka. Banyak pihak yang merasa bahwa janji-janji pemerintah kepada Keraton Surakarta, maupun rakyat pada umumnya, belum terealisasi dengan baik.

Sejarawan UGM, Sri Margana, menilai bahwa pernyataan Putra Mahkota Keraton Surakarta ini bisa menjadi simbol peringatan bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan perasaan rakyat, yang saat ini merasa kecewa dengan banyaknya masalah yang belum terselesaikan.

Peran Keraton dalam Sosial dan Budaya
Meski tidak lagi memiliki kekuasaan politik, Keraton Surakarta tetap menjadi simbol penting dalam kebudayaan Jawa. Banyak kalangan melihat bahwa pernyataan KGPAA Hamengkunegoro juga merupakan upaya untuk mengembalikan reputasi Keraton Surakarta yang pernah memiliki peranan besar dalam sejarah Indonesia.

Namun, sebagian kalangan juga melihat pernyataan tersebut sebagai bentuk "gegabah" dari sisi sejarah, karena Keraton Surakarta saat ini tidak lagi memiliki otoritas politik. Banyak yang berpendapat bahwa ungkapan tersebut hanya mewakili perasaan pribadi KGPAA Hamengkunegoro, dan tidak menggambarkan pandangan masyarakat Surakarta secara keseluruhan.

Kesimpulan
Secara keseluruhan, pernyataan KGPAA Hamengkunegoro yang viral di media sosial menyoroti ketidakpuasan terhadap kondisi pemerintahan Indonesia saat ini. Meskipun mendapat beragam respons, pernyataan tersebut mengungkapkan kekecewaan mendalam yang juga dirasakan oleh banyak lapisan masyarakat, terutama terkait ketidakmampuan pemerintah dalam menepati janji-janji dan memperbaiki tata kelola negara.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan