Pakar Hukum Dorong Pengesahan RUU Perampasan Aset untuk Berantas Korupsi

Ilustrasi korupsi.//Foto:dok/net.--
Ditambahkannya, saat ini, penyitaan aset para terpidana koruptsi masih bergantung pada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, memberi peluang bagi koruptor untuk menyembunyikan atau memindahkan aset.
Terobosan RUU Perampasan Aset
RUU Perampasan Aset memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan negara menyita aset tanpa harus menunggu putusan pidana. Mekanisme ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat melalui Civil Asset Forfeiture dan Inggris melalui Proceeds of Crime Act.
Dijelasannya, didalam RUU itu memungkinkan penyitaan aset sejak tahap penyidikan, asalkan dilengkai dengan bukti yang cukup bahwa kekayaan itu berasal dari tindak pidana. Selain itu, konsep illicit enrichment dalam RUU ini memungkinkan pemeriksaan terhadap pejabat yang memiliki kekayaan tidak wajar.
Kendala dalam Pengesahan RUU
Meskipun telah diusulkan sejak 2003 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), RUU Perampasan Aset belum mendapat pembahasan serius di DPR. Hardjuno menduga ada kepentingan politik yang menghambat pengesahan aturan ini.
Ditegaskannya, mandeknya pembahasan RUU itu diduga karena adanya kepentingan elite politik. Aturan yang bisa memiskinkan koruptor tentu menghadapi resistensi dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Ia juga menyoroti kasus korupsi di sektor sumber daya alam, seperti skandal tata kelola pertambangan, yang menyebabkan kekayaan negara dikuasai oleh segelintir orang. Menurutnya, pengesahan RUU Perampasan Aset dapat menjadi langkah strategis untuk memulihkan aset negara yang telah diselewengkan.