Mahasiswa Cabut Gugatan soal Caleg Harus 'Akamsi' di Mahkamah Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto-Net--

Radarlambar.Bacakoran.co - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menerima pencabutan permohonan uji materi Undang-Undang Pemilu yang diajukan oleh Aliansi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang. Gugatan yang sebelumnya mengusulkan agar calon anggota legislatif (caleg) harus berasal dari daerah pemilihannya sendiri atau yang dikenal dengan istilah 'anak kampung sini' (akamsi) pun akhirnya tidak berlanjut.

Proses Pencabutan Gugatan

Berdasarkan informasi yang dikutip dari situs resmi MK pada Rabu 19 Maret 2025, sidang lanjutan perkara Nomor 7/PUU-XXIII/2025 telah digelar pada Selasa 18 Maret 2025. Para pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 240 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan alasan bahwa caleg seharusnya memiliki keterikatan dengan daerah pemilihannya.

Dalam sidang panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama Hakim MK Ridwan Mansyur dan Arsul Sani, para pemohon mengonfirmasi pencabutan gugatan tersebut. MK juga telah menerima surat resmi penarikan permohonan pada 15 Maret 2025.

Salah satu perwakilan pemohon menjelaskan bahwa mereka telah berupaya menyempurnakan permohonan yang diajukan. Namun, mereka merasa waktu dua minggu yang diberikan oleh MK tidak cukup untuk menyusun revisi yang lebih matang, sehingga akhirnya memutuskan untuk mencabut permohonan tersebut.

"Kami sudah mengklarifikasi penarikan permohonan dan berterima kasih kepada para pemohon yang telah hadir untuk memberikan klarifikasi. Dengan demikian, sidang yang beragenda perbaikan permohonan ini dinyatakan selesai dan resmi ditutup," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam persidangan.

Latar Belakang Gugatan

Sebelumnya, sidang pendahuluan untuk perkara ini telah dilaksanakan pada Rabu 5 Maret 2025. Para pemohon mengajukan gugatan karena merasa resah dengan banyaknya caleg yang tidak berasal dari atau berdomisili di daerah pemilihannya (dapil).

Berdasarkan data yang mereka ajukan, dalam daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019-2024 yang dipublikasikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 28 September 2018, tercatat 3.387 atau 59,53 persen dari total caleg tidak berdomisili di dapilnya masing-masing. Pada Pemilu 2024, jumlah tersebut masih cukup signifikan, dengan 1.294 caleg DPR/DPRD yang dianggap tidak memiliki keterkaitan dengan daerah yang mereka wakili.

Menurut pemohon, sebagian besar caleg yang tidak berdomisili di dapilnya berasal dari DKI Jakarta dan sekitarnya. Dari total 9.917 caleg dalam daftar calon tetap Pemilu 2024 yang disahkan KPU, sebanyak 5.701 orang (57,5 persen) tinggal di luar dapilnya. Bahkan, 3.605 caleg atau 36,4 persen tidak hanya tinggal di luar dapil, tetapi juga tidak lahir di daerah tersebut. Selain itu, sebanyak 1.294 caleg atau 13 persen tidak memiliki rekam jejak pendidikan di daerah pemilihannya, baik di tingkat SMA maupun perguruan tinggi.

Para pemohon menilai kondisi ini menimbulkan ketidakadilan karena caleg yang tidak memiliki hubungan dengan dapilnya kurang memahami permasalahan lokal secara mendalam. Oleh karena itu, mereka mengusulkan agar syarat pencalonan anggota legislatif diperketat dengan mewajibkan caleg berdomisili di dapilnya minimal lima tahun sebelum pencalonan, yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Perbandingan dengan Pencalonan Anggota DPD

Sebagai bagian dari argumentasi mereka, pemohon membandingkan aturan pencalonan anggota DPR dan DPRD dengan syarat bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Berdasarkan regulasi yang berlaku, calon anggota DPD diwajibkan berdomisili di wilayah dapil yang mereka wakili. Namun, aturan serupa tidak diterapkan untuk caleg DPR dan DPRD, yang menurut pemohon menyebabkan ketimpangan dalam representasi daerah.

Dalam permohonannya, mereka meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 240 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kecuali jika dimaknai bahwa caleg harus berdomisili di dapilnya minimal lima tahun sebelum pencalonan.

Akhir dari Perjuangan Hukum

Meskipun gugatan ini telah dicabut, perdebatan mengenai persyaratan keterikatan caleg dengan dapilnya kemungkinan masih akan berlanjut di ranah politik dan masyarakat. Beberapa pihak mendukung adanya regulasi yang lebih ketat agar wakil rakyat benar-benar memahami aspirasi dan kebutuhan daerah yang mereka wakili, sementara pihak lain menilai bahwa kebijakan tersebut dapat membatasi hak politik warga negara.

Pencabutan gugatan ini menandai berakhirnya upaya hukum yang diajukan oleh Aliansi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang. Namun, isu mengenai keterkaitan caleg dengan dapilnya masih menjadi bahan diskusi dalam sistem pemilu Indonesia ke depan.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan