KPK Gunakan Asas Lex Spesialis, Tak Terikat Aturan Penyadapan dalam RUU KUHAP

Gedung KPK RI.//Foto:dok/net.--
Radarlambar.Bacakoran.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa aturan penyadapan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tidak akan berdampak pada kewenangan penyadapan mereka. Hal ini dikarenakan KPK berpegang pada asas lex spesialis, yang berarti bahwa aturan dalam Undang-Undang KPK memiliki kedudukan lebih khusus dibandingkan dengan KUHAP.
Aturan Penyadapan dalam RUU KUHAP
Dalam draf RUU KUHAP yang beredar, aturan mengenai penyadapan tertuang dalam Pasal 124 hingga 128. Pasal 124 menyebutkan bahwa penyadapan harus mendapat izin dari ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan mendesak seperti ancaman bahaya maut atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Jika penyadapan dilakukan tanpa izin dalam kondisi mendesak, maka dalam waktu maksimal satu hari setelahnya, izin tetap harus diajukan ke pengadilan. Jika pengadilan menolak, hasil penyadapan tersebut harus dimusnahkan dan tidak dapat dijadikan barang bukti.
Lebih lanjut, Pasal 125 mengatur bahwa penyadapan memiliki batas waktu maksimal 30 hari dan bisa diperpanjang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri. Pasal 126 hingga 128 mengatur soal penyimpanan, pemusnahan, dan sifat kerahasiaan hasil penyadapan.
KPK Tetap Berpegang pada UU KPK
Menanggapi aturan tersebut, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto menegaskan bahwa KPK akan tetap menjalankan penyadapan berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Menurutnya, KPK tidak perlu mengikuti aturan dalam RUU KUHAP karena lembaga antirasuah ini memiliki ketentuan khusus yang mengatur kewenangannya.
Menurut Fitroh pada Senin 24 Maret 2025 kemarin mengatakan bahwa KPK menjalankan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang KPK. Sejak awal, diakuinya memang seperti itu dan pihaknya tetap berpegang pada asas lex spesialis.
Senada dengan itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan bahwa aturan penyadapan dalam RUU KUHAP bersifat umum dan berlaku bagi penyidik Polri serta penyidik lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, untuk KPK, aturan khusus yang tertuang dalam UU KPK tetap menjadi dasar utama dalam melakukan penyadapan.
Tanak menjelaskan bahwa penyadapan yang diatur dalam KUHAP bersifat umum, sehingga dapat diterapkan dalam berbagai tindak pidana dan dilakukan oleh penyidik yang berwenang. Sementara, KPK diketahui memiliki dasar hukum sendiri, yaitu Undang-Undang No.19/2019.
Dengan demikian, KPK tetap memiliki kewenangan penuh dalam melakukan penyadapan berdasarkan UU KPK tanpa perlu mengikuti aturan yang tertuang dalam RUU KUHAP. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum lex spesialis derogat legi generalis, yang berarti hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Implikasi Terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi
Keputusan KPK untuk tetap berpegang pada UU KPK dalam hal penyadapan memiliki dampak signifikan terhadap efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Penyadapan merupakan salah satu alat utama dalam mengungkap praktik korupsi yang sering kali dilakukan secara tertutup dan melibatkan jaringan yang kompleks. Jika KPK diwajibkan untuk mengikuti mekanisme penyadapan dalam RUU KUHAP, proses penyelidikan dapat menjadi lebih lambat dan berisiko kehilangan momentum dalam mengungkap kasus korupsi.
Sejumlah pakar hukum menilai bahwa KPK memang sebaiknya tetap menggunakan aturan penyadapan dalam UU KPK demi menjaga efektivitas kerjanya. Meski demikian, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan kewenangan ini tetap harus menjadi perhatian agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Ke depan, perdebatan mengenai aturan penyadapan ini masih mungkin berkembang seiring dengan pembahasan lebih lanjut RUU KUHAP di DPR. Namun, dengan asas lex spesialis, KPK dipastikan tetap memiliki ruang gerak yang cukup dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi di Indonesia.(*)