Kontroversi Kebijakan Vasektomi sebagai Syarat Bantuan Sosial di Jawa Barat

KB Vasektomi. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Kebijakan kontroversial yang diusulkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk menjadikan vasektomi sebagai syarat penyaluran bantuan sosial (bansos) bagi warga miskin menuai banyak kritik. Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, menilai kebijakan ini sangat diskriminatif. Menurutnya, meskipun vasektomi sebagai kontrasepsi pria bisa dianggap efektif, menyaratkan hal tersebut untuk menerima bantuan sosial merupakan langkah yang tidak adil dan memaksa masyarakat untuk patuh pada kebijakan yang tidak relevan dengan kebutuhan dasar mereka.
Elisa berpendapat bahwa penyebab utama kemiskinan bukanlah jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga miskin, melainkan kurangnya akses pendidikan yang layak, khususnya bagi perempuan. Ia juga menyoroti bahwa angka kelahiran di Indonesia sudah menurun secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir, sehingga alasan untuk menekan angka kelahiran melalui vasektomi menjadi kurang relevan.
Menurutnya, jika pemerintah ingin menyosialisasikan vasektomi atau kontrasepsi pria, hal itu bisa dilakukan dengan pendekatan yang lebih persuasif dan berbasis pada kultur masyarakat Jawa Barat, tanpa mengaitkannya dengan hak warga untuk menerima bantuan sosial. Elisa bahkan menyarankan pemberian insentif kepada masyarakat yang bersedia menjalani vasektomi, seperti pulsa atau hadiah lainnya, namun tidak seharusnya hal tersebut menjadi syarat bagi penerima bansos.
Di sisi lain, Gubernur Dedi Mulyadi tetap mempertahankan kebijakannya. Ia menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk menekan angka kelahiran di kalangan masyarakat miskin, yang dianggap memiliki jumlah anak lebih banyak. Dedi berpendapat bahwa dengan menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk menerima bansos, ia mengharapkan tanggung jawab lebih besar dari para kepala keluarga, terutama pria, dalam merencanakan jumlah anak.
Namun, kebijakan ini mendapat sorotan tajam karena menganggap bahwa kemiskinan dan angka kelahiran yang tinggi saling terkait, padahal banyak faktor lain yang lebih kompleks yang memengaruhi kondisi ekonomi suatu keluarga. Kebijakan ini menimbulkan perdebatan mengenai pendekatan yang lebih tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesejahteraan sosial di masyarakat. (*)