Uang Suap di Bawah Kasur: Skandal Hakim dan Vonis Lepas Tiga Raksasa CPO

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah . Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Skandal suap di balik vonis lepas tiga korporasi raksasa penguasa ekspor minyak sawit (CPO) membuka babak baru, ketika seorang hakim yang terseret kasus ini, Ali Muhtarom, diketahui menyembunyikan uang suap senilai miliaran rupiah… di bawah kasur.
Penggeledahan yang dilakukan tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung di rumah Ali Muhtarom di Jepara, Jawa Tengah, menemukan temuan mencengangkan: koper hitam berisi dua buntalan plastik, berisi 3.600 lembar uang dolar AS pecahan seratus, setara dengan Rp 5,5 miliar.
Penemuan ini terjadi saat Ali Muhtarom sudah ditetapkan sebagai tersangka dan tengah diperiksa di Jakarta. Pada awalnya, tim penggeledah di Jepara tak menemukan barang bukti signifikan, sampai akhirnya tekanan pemeriksa di Jakarta memaksa Ali mengungkap lokasi penyimpanan uang tersebut. Jawabannya? Di bawah kasur tempat tidurnya.
Ali Muhtarom bukan satu-satunya hakim yang terseret dalam pusaran korupsi ini. Dua hakim lainnya, Djuyamto dan Agam Syarif Baharuddin, juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya adalah bagian dari majelis yang membebaskan tiga perusahaan besar—Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—dari dakwaan korupsi perizinan ekspor CPO.
Jumlah uang yang mereka kantongi pun tidak main-main. Ali disebut menerima Rp 5,5 miliar, Djuyamto sekitar Rp 7,5 miliar, dan Agam Syarif mendapatkan sekitar Rp 6,5 miliar. Semua ini merupakan bagian dari total suap Rp 60 miliar yang diduga berasal dari pengacara para terdakwa, disalurkan melalui seorang staf legal perusahaan, hingga akhirnya sampai ke tangan para hakim.
Tersangka utama dalam pengaturan vonis ini adalah Muhammad Arif Nuryanta (MAN), mantan Wakil Ketua Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, yang saat ditangkap bahkan sudah menjabat Ketua PN Jakarta Selatan. MAN disebut sebagai sosok yang mengatur jalannya suap bersama Wahyu Gunawan, panitera muda di PN Jakarta Utara, yang turut menentukan "tarif" untuk vonis lepas tersebut.
Dari pengacara ke panitera, lalu ke hakim—skema suap ini menggambarkan bagaimana sistem peradilan bisa dibajak demi kepentingan segelintir pihak. Skandal ini menjadi tamparan keras bagi integritas lembaga peradilan, sekaligus menyorot lagi perlunya pembenahan serius dalam sistem hukum Indonesia. (*)