Rupiah Kian Terpuruk, Tembus Rekor Terlemah Sepanjang Sejarah

Ilustrasi. Foto Freepik-Foto Dok---

Radarlambar.bacakoran.co – 24 April 2025 Nilai tukar rupiah kembali mencatatkan rekor terlemah dalam sejarahnya. Di tengah tekanan eksternal dan gejolak pasar domestik, mata uang Garuda menutup perdagangan hari ini di level Rp16.870 per dolar AS. Ini menjadi titik terendah yang pernah dicatat dalam penutupan pasar, memperpanjang tren pelemahan yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

Saat pasar spot ditutup Kamis sore, pelemahan rupiah terlihat hanya 0,03%, namun dampaknya jauh lebih besar secara psikologis maupun fundamental. Bahkan pada sesi perdagangan siang, rupiah sempat menyentuh titik nadirnya di Rp16.886 per dolar AS, berbarengan dengan koreksi indeks saham domestik yang kehilangan momentumnya.

Sementara di pasar non-domestik (offshore), pergerakan rupiah juga tidak menggembirakan. Nilai tukar sempat melorot hingga Rp16.908 sebelum akhirnya sedikit terkoreksi ke level Rp16.892 per dolar AS. Stabilnya indeks dolar AS di kisaran 99,4—usai penguatan signifikan sehari sebelumnya—menjadi salah satu faktor eksternal yang memperberat beban rupiah.

Tekanan terhadap mata uang Indonesia terlihat semakin serius. Sepanjang tahun ini, rupiah menjadi satu-satunya mata uang di kawasan Asia yang terus melemah terhadap dolar AS, mencerminkan kerentanannya di tengah ketidakpastian global. Bahkan bila dibandingkan dengan penutupan akhir tahun lalu, nilai tukarnya sudah tergerus hingga 4,55% secara tahunan.

Fenomena ini tak lepas dari meningkatnya aksi jual investor asing di pasar keuangan domestik, terutama portofolio, yang dipicu oleh kombinasi sentimen negatif dari dalam dan luar negeri. Sentimen perang dagang dan ketidakpastian kebijakan fiskal menjadi dua pemicu utama. Hanya dalam bulan April, dana asing senilai lebih dari Rp61 triliun tercatat keluar dari pasar domestik.

Kondisi ini diperparah oleh gejolak yang muncul sejak kuartal pertama tahun ini. Rupiah sempat tertekan hingga 2,77% hanya dalam tiga bulan pertama 2025, bahkan sebelum sanksi dagang dari Amerika Serikat resmi diberlakukan terhadap Indonesia.

Di tengah tekanan ini, sejumlah lembaga keuangan internasional memperkirakan tren negatif masih akan berlanjut. MUFG, salah satu bank besar asal Jepang, menilai rupiah berpotensi menembus Rp17.100 dalam waktu dekat. Sementara Barclays Plc memproyeksikan nilai tukar dapat mencapai Rp17.200 pada kuartal pertama tahun depan, meski bank sentral terus melakukan intervensi.

Meski demikian, tidak semua analis bersikap pesimistis. Ada pandangan bahwa pelemahan ini justru menjadikan rupiah undervalued atau berada di bawah nilai wajarnya. Sejarah menunjukkan, rupiah memiliki karakteristik volatilitas tinggi namun mampu bangkit cepat dalam waktu singkat, seperti yang terjadi pada tahun 2020 dan 2024. Dengan asumsi stabilisasi berhasil, potensi penguatan signifikan masih terbuka.

Bank Indonesia, dalam rapat dewan gubernurnya baru-baru ini, menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas nilai tukar sebagai prioritas utama. Intervensi pun dilakukan di berbagai lini, baik melalui pasar spot, pasar non-deliverable forward (NDF) domestik, maupun pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

BI juga memperkuat kehadiran di pasar global dengan strategi intervensi 24 jam di pusat-pusat keuangan utama dunia, seperti Hong Kong, Eropa, dan Amerika Serikat. Tujuannya jelas: memberikan kepastian dan kepercayaan bagi investor global terhadap ketahanan ekonomi Indonesia.

Upaya ini mulai menunjukkan hasil awal. Arus masuk dana asing ke instrumen SBN dan SRBI kembali mengalir dalam beberapa hari terakhir, mencerminkan optimisme bahwa stabilitas rupiah masih bisa dipertahankan.

Namun, di tengah volatilitas ini, dampaknya terhadap pasar saham tidak bisa dihindari. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat melesat hingga 0,8% akhirnya kembali ke zona merah, menutup hari dengan penurunan 0,6%. Sementara itu, harga obligasi negara justru menunjukkan kenaikan yang ditandai dengan turunnya yield, khususnya pada tenor pendek.

Ketimpangan antara yield obligasi Indonesia dan US Treasury kini berada di kisaran 258 basis poin, mencerminkan dinamika pasar yang masih menanti arah kebijakan yang lebih jelas di tengah bayang-bayang ketegangan ekonomi global. (*/rinto)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan