BPS Buka Suara Soal Bank Dunia Sebut 60 Persen Warga RI Miskin

BPS menanggapi laporan Bank Dunia yang menyebut penduduk miskin Indonesia mencapai 60,3 persen dari total 284 juta penduduk Indonesia alias 171 juta orang. -Foto-CNN Indonesia.--
Radarlambar.bacakoran.co - Badan Pusat Statistik (BPS) menanggapi laporan terbaru Bank Dunia yang mencatat jumlah enduduk miskin Indonesia mencapai 60,3 persen dari total populasi, atau sekitar 171 juta orang dari 284 juta jiwa. Laporan tersebut muncul dalam konteks penghitungan berdasarkan metode purchasing power parity (PPP) 2017, khususnya untuk negara-negara berpendapatan menengah ke atas.
Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa indikator yang digunakan Bank Dunia tidak bisa serta-merta disamakan dengan standar nasional. Hal itu dikarenakan garis kemiskinan internasional tersebut didasarkan pada PPP 2017 sebesar US$6,85 per kapita per hari, yang bukan nilai tukar langsung terhadap dolar AS melainkan dikonversi menggunakan PPP conversion factor. Untuk Indonesia, faktor konversi tahun 2017 adalah sebesar 4.756,17.
Dengan dasar tersebut, garis kemiskinan untuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas ditetapkan pada pengeluaran di bawah Rp32.579 per hari atau sekitar Rp977.392 per bulan. Metode ini digunakan Bank Dunia sebagai cara untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara dengan memperhitungkan perbedaan biaya hidup dan harga barang lokal.
Menurut penjelasan BPS, pendekatan Bank Dunia memang lazim digunakan dalam analisis internasional, tetapi tidak selalu mencerminkan kondisi sosial ekonomi secara akurat dalam konteks domestik. Di Indonesia, penghitungan garis kemiskinan tidak bersifat tunggal secara nasional, melainkan berbeda di setiap provinsi tergantung pada karakteristik wilayah, pola konsumsi masyarakat, dan struktur harga lokal. Oleh karena itu, BPS menilai bahwa angka 60 persen tersebut tidak bisa disamakan dengan data resmi nasional.
Data resmi yang dirilis BPS pada 15 Januari 2025 menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2024 mencapai 24,06 juta jiwa atau setara 8,57 persen dari total populasi. Angka ini menunjukkan penurunan dari periode sebelumnya, yaitu Maret 2024, yang mencatat 25,22 juta penduduk miskin. Penurunan tersebut berarti sekitar 1,16 juta orang berhasil keluar dari garis kemiskinan dalam kurun waktu enam bulan.
Selain kategori untuk negara berpendapatan menengah ke atas, Bank Dunia juga menggunakan ukuran kemiskinan lain berdasarkan PPP, seperti garis kemiskinan internasional sebesar US$2,15 per kapita untuk mengukur kemiskinan ekstrem secara global, serta ukuran untuk negara berpendapatan menengah bawah sebesar US$3,65 per kapita. Namun sejak Indonesia masuk dalam klasifikasi upper middle income country pada 2023 dengan GNI mencapai US$4.580 per kapita, maka tolok ukur yang digunakan adalah yang tertinggi di antara ketiga kategori tersebut.
BPS menyampaikan bahwa angka yang dirilis Bank Dunia bersifat referensial dan bukan keharusan untuk dijadikan rujukan tunggal oleh pemerintah. Penilaian terhadap kemiskinan tetap lebih tepat dilakukan dengan menggunakan indikator dan metodologi yang disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dalam negeri.
Perbedaan metode penghitungan tersebut menjadi penting untuk dipahami agar tidak menimbulkan kesimpulan keliru terkait kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam praktiknya, perumusan kebijakan sosial oleh pemerintah selalu didasarkan pada data resmi nasional yang memperhitungkan dinamika di tingkat lokal dan regional.
Meski demikian, data dari lembaga internasional seperti Bank Dunia tetap penting sebagai cerminan posisi Indonesia dalam konteks global. Perbandingan ini bisa menjadi bahan refleksi bagi pemerintah dalam merancang strategi jangka panjang untuk memperkuat perlindungan sosial, memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat di seluruh pelosok.(*/edi)