Ekonomi Indonesia Alami Situasi Genting, INDEF Paparkan Delapan Tanda Peringatan

Ilustrasi- Net--

Radarlambar.bacakoran.co - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 mengalami perlambatan dengan capaian sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year), menurun dari periode yang sama tahun sebelumnya yang berada di angka 5,11 persen. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai bahwa kondisi ini merupakan peringatan serius bagi perekonomian nasional, yang menuntut pemerintah untuk segera memperkuat kebijakan yang lebih adaptif dan progresif.

INDEF mencatat delapan indikator utama yang menggambarkan situasi ekonomi Indonesia yang dinilai genting. Pertama, Indonesia dinilai masih sangat rentan terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Berdasarkan data IMF, ekonomi dunia diperkirakan melambat menjadi 2,8 persen dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,3 persen. Hal ini mempengaruhi Indonesia yang masih menggantungkan ekspor pada komoditas mentah tanpa didukung lompatan industrialisasi yang memadai.

Kedua, tekanan ekonomi juga datang dari fenomena ‘dual shocks’ yang memengaruhi neraca perdagangan nasional. Lonjakan harga komoditas seperti batu bara dan minyak memang memberikan peningkatan pendapatan negara, tetapi sifatnya sementara dan tidak menjangkau seluruh lapisan ekonomi. Sebaliknya, penurunan harga nikel dan minyak kelapa sawit berdampak langsung terhadap sektor hilirisasi dan tenaga kerja di wilayah pertambangan dan perkebunan. Kinerja ekspor terganggu, dan strategi hilirisasi nasional belum terbukti kokoh dalam menghadapi tantangan global.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang melambat ini dianggap sebagai pertanda awal stagnasi struktural. INDEF menyoroti bahwa pelemahan bukan hanya akibat tekanan eksternal, tetapi juga kegagalan internal dalam melakukan transformasi ekonomi secara menyeluruh. Belanja fiskal dinilai belum efisien, produktivitas sektor belum terdorong maksimal, dan investasi swasta masih cenderung menunggu perkembangan.

Keempat, dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi menunjukkan melemahnya investasi dan konsumsi. Investasi yang tidak berkembang dan konsumsi rumah tangga yang lesu memperlihatkan melemahnya penggerak utama ekonomi. Sementara itu, pengeluaran pemerintah yang seharusnya mampu menopang pertumbuhan malah dipangkas melalui efisiensi anggaran sebesar Rp300 triliun, yang justru memperdalam kontraksi ekonomi.

Kelima, dari sisi penawaran, hilirisasi belum menunjukkan hasil nyata. Sektor pertanian memang mencatatkan pertumbuhan musiman, namun sektor manufaktur dan pertambangan sebagai tulang punggung hilirisasi mengalami stagnasi. Pemerintah dinilai belum berhasil menjadikan sektor ini sebagai motor penggerak ekonomi jangka panjang yang berbasis inovasi dan produktivitas.

Keenam, rezim suku bunga tinggi serta efisiensi anggaran membuat likuiditas ekonomi nasional menipis. Kenaikan suku bunga acuan dan instrumen keuangan lainnya telah mendorong dana likuid berpindah ke instrumen yang lebih menguntungkan, sehingga mempersempit ruang bagi sektor riil untuk tumbuh.

Ketujuh, sektor dunia usaha menunjukkan kelesuan yang terlihat dari pertumbuhan kredit yang melambat menjadi 8,7 persen pada Maret 2025, turun dari 9,7 persen di Februari. Padahal bulan tersebut merupakan periode Ramadan dan Lebaran yang biasanya mendorong konsumsi. Selain itu, peningkatan kredit yang telah disetujui tetapi belum ditarik oleh pelaku usaha menunjukkan tingginya ketidakpastian di kalangan pengusaha.

Kedelapan, INDEF menegaskan perlunya kombinasi kebijakan yang fokus pada optimalisasi potensi domestik, stimulus fiskal yang tepat sasaran, serta dukungan terhadap ekosistem industri. Pemerintah diharapkan mampu memperkuat sektor industri pengolahan melalui dukungan infrastruktur, logistik, tenaga kerja, hingga kebijakan perdagangan yang terintegrasi.

Situasi saat ini menuntut kebijakan yang tidak hanya merespons tekanan jangka pendek, tetapi juga mampu mengarahkan ekonomi nasional ke arah transformasi yang lebih mendasar dan berkelanjutan.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan