AFPI Bantah Tuduhan Kartel Pinjol, Tegaskan Langkah Sesuai Regulasi

Ilustrasi. AFPI membantah tuduhan KPPU terkait dugaan pelanggaran kartel suku bunga di industri pinjaman online (pinjol) yang dilakukan oleh anggotanya-Foto Dok---

Radarlambar.bacakoran.co - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membantah tuduhan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan kartel suku bunga yang menyeret 97 anggotanya di industri pinjaman online. AFPI menegaskan, tidak ada kesepakatan atau pemaksaan untuk menyeragamkan suku bunga, melainkan hanya menetapkan batas maksimum guna membedakan layanan legal dari praktik pinjaman daring ilegal yang meresahkan masyarakat.

Sekretaris Jenderal AFPI periode 2019–2023, Sunu Widyatmoko, menjelaskan bahwa pada masa awal industri ini berkembang, banyak platform tidak resmi yang menetapkan bunga sangat tinggi hingga di atas satu persen per hari, bahkan lebih dari dua kali lipatnya. Atas kondisi itu, AFPI menetapkan batas bunga maksimum sebesar 0,8 persen sebagai upaya perlindungan terhadap konsumen, sekaligus menunjukkan bahwa platform legal dapat bersaing dengan lebih adil dan terkendali.

Sunu menekankan, kebijakan itu tidak pernah ditujukan untuk menyeragamkan harga di seluruh platform. Ia menyebut penentuan suku bunga diserahkan kepada masing-masing perusahaan berdasarkan analisis risiko dan jenis produk pinjaman yang ditawarkan.

Hal senada disampaikan oleh Sekjen AFPI saat ini, Ronald Andi Kasim. Ia mengungkapkan bahwa penetapan batas atas suku bunga tersebut dilakukan atas sepengetahuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bahkan, pada 2021, atas permintaan OJK, batas bunga tersebut diturunkan menjadi 0,4 persen. Namun, Ronald menekankan bahwa angka itu merupakan batas tertinggi, bukan tarif yang harus diterapkan secara seragam.

Dalam praktiknya, lanjut Ronald, sejumlah platform justru menetapkan bunga di bawah angka tersebut. Ada yang mematok bunga 0,6 persen, 0,5 persen, hingga 0,4 persen per hari. Menurutnya, fleksibilitas dalam penentuan bunga dilakukan dengan mempertimbangkan kesepakatan antara pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower), serta berdasarkan jenis produk, seperti pinjaman multiguna, produktif, atau berbasis syariah.

Ronald juga menegaskan bahwa setelah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK) disahkan dan OJK menerbitkan SEOJK Nomor 19 Tahun 2023 yang mengatur secara eksplisit mekanisme bunga dalam fintech lending, AFPI segera mencabut kebijakan batas bunga maksimum dan menyesuaikan diri sepenuhnya pada ketentuan regulator.

Ia menilai kebijakan tersebut adalah bentuk tanggung jawab industri dalam menciptakan ekosistem yang adil bagi peminjam dan tetap menarik bagi pemberi dana. Menurutnya, jika bunga ditekan terlalu rendah tanpa perhitungan risiko yang proporsional, maka justru akan membuat lender enggan menyalurkan dana, yang pada akhirnya menyulitkan masyarakat untuk mengakses pembiayaan.

AFPI berharap temuan KPPU bisa ditelaah lebih dalam dengan mempertimbangkan realitas industri dan posisi hukum yang telah diperkuat melalui regulasi formal yang ada.(*/edi)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan