Kebudayaan Arkipelagis dan Yogyakarta Renaisans: Melihat Masa Depan Indonesia dari Warisan Budaya Nusantara

Salah satu koleksi di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta / Foto--Net.--
Radarlambar.bacakoran.co - Istilah “arkipelagis” bukan sekadar menggambarkan Indonesia sebagai negara kepulauan, tetapi juga mencerminkan kekayaan budaya yang saling terhubung, dinamis, dan beragam. Keberagaman budaya di nusantara adalah warisan hidup yang terus membentuk identitas bangsa. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana kebudayaan arkipelagis bisa menjadi kunci pemajuan budaya Indonesia di era global.
Kebudayaan Arkipelagis dalam Perspektif Hilmar Farid
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Indonesia, memandang kebudayaan sebagai pusat pembangunan bangsa yang hidup dan partisipatif. Dalam pidatonya tentang Pemajuan Kebudayaan (2017), Hilmar menekankan bahwa pelestarian budaya bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah ruang dialog untuk menjawab persoalan sosial dan tantangan global, seperti keberagaman dan kesenjangan sosial.
Bagi Hilmar, budaya arkipelagis adalah hasil interaksi antarkomunitas di berbagai wilayah Indonesia yang membentuk pola adaptasi unik, sejalan dengan teori Claude Lévi-Strauss yang menyatakan bahwa budaya merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungan sosial dan geografisnya.
Menyatukan Pandangan Global dan Lokal
Pandangan Hilmar sejalan dengan pemikiran tokoh dunia seperti Arysio Santos yang melihat Indonesia sebagai pusat peradaban dunia, bahkan mungkin Atlantis, berdasarkan kekayaan budaya arkipelagisnya. Begitu pula dengan Oswald Spengler yang mengingatkan bahwa kebudayaan harus dijaga dan diperbaharui agar tidak mengalami kemunduran.
Namun, kebebasan berekspresi—seperti yang John Stuart Mill tekankan—adalah kunci agar kebudayaan dapat berkembang. Realitanya, kebebasan ini masih sering dibatasi oleh tekanan politik dan sosial di Indonesia, sehingga ekspresi budaya autentik terpinggirkan. Kritik Edward Said dalam Orientalism juga relevan, mengingat bagaimana budaya Indonesia sering dikomodifikasi tanpa menghargai nilai-nilai aslinya.
Kota sebagai Ruang Kebudayaan
Lewis Mumford mengingatkan bahwa kota seharusnya menjadi pusat pertumbuhan budaya. Kota-kota di Indonesia seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Makassar punya potensi besar sebagai ruang interaksi budaya lokal dan global, tanpa kehilangan akar tradisionalnya.