Laptop Murah Dibayar Mahal: Dugaan Korupsi Digitalisasi Pendidikan di Era Nadiem

Nadiem Makarim--
Radarlambar.bacakoran.co -Skandal korupsi di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) semakin mencuat ke permukaan. Salah satu sorotan tajam tertuju pada pengadaan laptop Chromebook untuk program digitalisasi pendidikan, yang ternyata menyumbang potensi kerugian negara terbesar dalam penyelidikan era Menteri Nadiem Makarim.
Kejaksaan Agung melalui tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengungkap bahwa harga satuan laptop dalam pengadaan tersebut semestinya hanya berada di kisaran Rp5–7 juta. Namun, transaksi di lapangan menunjukkan pembayaran lebih dari Rp10 juta per unit. Selisih harga inilah yang memicu kecurigaan kuat akan adanya penggelembungan anggaran.
Lebih jauh, penyidik menemukan bahwa anggaran total program digitalisasi pendidikan mencapai Rp9,9 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp3,82 triliun bersumber dari Dana Satuan Pendidikan (DSP), dan sisanya, Rp6,39 triliun, berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana DAK yang sejatinya menjadi jembatan keuangan dari pusat ke daerah, justru menjadi celah dalam dugaan praktik korupsi.
Skema pengadaan juga menjadi sorotan. Proses pembelian laptop di daerah diarahkan ke vendor-vendor tertentu yang sudah "ditentukan sebelumnya." Dugaan persekongkolan pun mengemuka, mengindikasikan adanya kesepakatan jahat yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam proses pengadaan barang.
Ironisnya, uji coba penggunaan Chromebook sebenarnya sudah dilakukan sejak 2020, dan hasilnya dinyatakan tak sesuai spesifikasi. Salah satu kelemahan mencolok adalah ketergantungan perangkat ini terhadap koneksi internet yang stabil, padahal banyak wilayah penerima laptop belum memiliki akses internet yang memadai. Akibatnya, tujuan utama dari digitalisasi pendidikan menjadi tidak tercapai — program jalan, tapi tidak efektif. Laptop dibagikan, tapi tak bisa dimanfaatkan secara optimal.
Hingga kini, nilai pasti kerugian negara masih dalam proses perhitungan. Namun, indikasi bahwa program ini berujung pada pemborosan anggaran sangat jelas. Penghitungan kerugian tengah dilakukan oleh tim penyidik bersama auditor negara untuk menentukan apakah proyek ini tergolong sebagai total loss — kerugian penuh tanpa hasil manfaat yang berarti.
Penyidikan masih berlangsung. Belum ada tersangka yang diumumkan, namun lebih dari 28 saksi telah diperiksa. Penggeledahan pun dilakukan di kediaman tiga staf khusus dan tim teknis Mendikbudristek, yakni Fiona Handayani, Juris Stan, dan Ibrahim Arief. Menariknya, dua dari mereka mangkir dari jadwal pemeriksaan awal pekan ini.
Pemeriksaan terhadap mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim sendiri tinggal menunggu waktu. Kejaksaan memastikan, siapa pun yang terkait erat dengan perkara ini akan dipanggil, termasuk sang mantan menteri yang menjadi ikon digitalisasi pendidikan nasional.
Skandal ini tak hanya mencoreng wajah dunia pendidikan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah digitalisasi benar-benar dijalankan untuk kemajuan pendidikan, atau sekadar proyek besar yang jadi lahan empuk korupsi? (*)