Deflasi Berkepanjangan Ancaman Serius Bagi Ekonomi Nasional

Aktifitas Supermarket. -Foto freepik---
Radarlambar.bacakoran.co – Perekonomian nasional kembali menunjukkan sinyal yang kurang menggembirakan. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya deflasi sebesar 0,37 persen secara bulanan pada Mei 2025. Kondisi ini sekaligus memperpanjang tren penurunan harga yang telah berlangsung selama tiga bulan berturut-turut.
Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat turun menjadi 108,07 dibandingkan bulan sebelumnya. Secara tahunan, indeks ini menunjukkan penurunan sebesar 1,66 persen. Penurunan harga ini mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat yang didorong oleh berbagai tekanan ekonomi.
Sejumlah analis melihat kondisi ini sebagai pertanda bahwa konsumsi rumah tangga sedang mengalami tekanan berat. Masyarakat terlihat menahan belanja karena ketidakpastian ekonomi yang masih berlanjut. Hal ini tentu berdampak langsung pada perputaran ekonomi secara keseluruhan.
Secara teori, deflasi bisa dipicu oleh dua hal utama, yakni penurunan permintaan dan peningkatan penawaran barang dan jasa. Penurunan permintaan biasanya disebabkan oleh suku bunga tinggi yang mendorong masyarakat lebih memilih menabung ketimbang membelanjakan uangnya. Selain itu, kepercayaan konsumen yang rendah, terutama saat terjadi perlambatan atau resesi ekonomi, turut memperparah keadaan.
Sementara dari sisi pasokan, deflasi juga bisa dipicu oleh menurunnya biaya produksi. Penurunan harga bahan baku seperti minyak atau efisiensi teknologi membuat produsen dapat menekan harga. Sayangnya, jika permintaan tidak ikut tumbuh, penurunan harga justru mendorong produsen untuk terus memangkas nilai jual agar produknya terserap pasar.
Namun, deflasi yang berkelanjutan bukanlah pertanda baik. Selain menurunkan keuntungan pelaku usaha, situasi ini bisa memicu gelombang pengangguran akibat efisiensi tenaga kerja oleh perusahaan. Bila kondisi terus memburuk, ekonomi bisa memasuki spiral deflasi—sebuah siklus berbahaya di mana harga yang terus menurun mendorong pemangkasan produksi, pemutusan hubungan kerja, dan melemahnya permintaan secara terus-menerus.
Lebih jauh lagi, deflasi menyebabkan nilai riil utang meningkat. Ketika suku bunga naik, beban pembayaran cicilan menjadi lebih berat. Akibatnya, konsumen cenderung menunda pembelian barang-barang besar dan kebutuhan sekunder lainnya demi menekan beban keuangan mereka.
Kondisi ini perlu diwaspadai karena dapat menggerus ketahanan ekonomi nasional. Jika tak segera ditangani dengan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat, deflasi bisa menjadi tantangan berat yang mengganggu stabilitas ekonomi jangka panjang. (*/rinto)