Perubahan Standar Kemiskinan Bank Dunia Buat Indonesia Tertinggal dari Vietnam dan Filipina

Foto CNBC Indonesia--
Radarlambar.bacakoran.co- Pembaruan metode pengukuran garis kemiskinan oleh Bank Dunia pada pertengahan 2025 berdampak signifikan terhadap peta kemiskinan global, termasuk Indonesia.
Dengan standar baru yang menggunakan Paritas Daya Beli (PPP) tahun 2021, posisi Indonesia justru menunjukkan lonjakan angka kemiskinan yang cukup tajam dibanding negara-negara setara secara ekonomi.
Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang kini menjadi bagian dari tim penasihat Presiden Prabowo Subianto mengkaji serius konsekuensi dari perubahan tersebut.
Menurut Arief Anshory Yusuf, anggota DEN sekaligus akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, pergeseran standar garis kemiskinan ini memperjelas bahwa Indonesia menghadapi ketimpangan distribusi pendapatan yang jauh lebih besar dibanding Filipina dan Vietnam, dua negara dengan tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang tidak jauh berbeda dari Indonesia.
Bank Dunia kini mengklasifikasikan kemiskinan ekstrem berdasarkan pengeluaran sebesar US\$ 3,00 per hari (2021 PPP), menggantikan batas sebelumnya yang sebesar US\$ 2,15 (2017 PPP). Sementara untuk negara berpendapatan menengah ke atas seperti Indonesia, ambang batas pengeluaran harian diperbarui dari US\$ 6,85 menjadi US\$ 8,30.
Dengan ambang batas baru tersebut, tingkat kemiskinan di Indonesia diperkirakan mencapai 68,25% dari total populasi pada 2024 yang mencapai 285,1 juta jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 194,58 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Jika menggunakan standar lama, tingkat kemiskinan Indonesia masih berada di angka 60,25% atau sekitar 171,77 juta jiwa.
Sebagai perbandingan, Vietnam mencatat angka kemiskinan sebesar 21,5% pada 2022, sementara Filipina berada di angka 58,74% pada 2023. Padahal, PDB per kapita Filipina tercatat sebesar US\$ 4.320 dan Vietnam sebesar US\$ 4.110, keduanya relatif sebanding dengan Indonesia.
Menurut Arief, data dari Standardized World Income Inequality Database (SWIID) menunjukkan Koefisien Gini Indonesia pada 2023 mencapai 0,46. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding Filipina (0,38) dan Vietnam (0,35), serta menempatkan Indonesia dalam kelompok 20% negara dengan ketimpangan distribusi pendapatan tertinggi di dunia.
Ia menekankan bahwa garis kemiskinan nasional yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) masih belum mencerminkan realitas sosial yang sesuai dengan standar internasional. Saat ini, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp 595.000 per bulan, atau sekitar Rp 19.833 per hari, hanya sedikit di atas batas kemiskinan ekstrem global.
Ketiadaan harmonisasi antara standar domestik dan internasional dalam mengukur kemiskinan berisiko membuat kebijakan pemerintah menjadi tidak tepat sasaran dan berkontribusi pada semakin lebarnya jurang ketimpangan sosial di dalam negeri.(*)