Pulau Pari di Ambang Krisis: Ketika Pariwisata Modern Menggerus Akar Ekologi dan Mata Pencaharian Warga

Pulau Pari di Ambang Krisis: Ketika Pariwisata Modern Menggerus Akar Ekologi dan Mata Pencaharian Warga. Foto//net--

Radarlambar.bacakoran.co -– Gugusan indah Kepulauan Seribu kini menyimpan luka yang tak terlihat dari kejauhan. Salah satu pulau terpopulernya, Pulau Pari, menjadi medan tarik ulur antara pembangunan pariwisata dan kelestarian ekosistem. Di tengah debur ombak dan rimbun mangrove, suara keresahan warga semakin keras menggema, menyuarakan kekhawatiran atas aktivitas yang dilakukan oleh PT Central Pondok Sejahtera (CPS).

Sejak akhir 2024, ekskavator mulai menyentuh perairan dangkal Pulau Pari. Pasir dikeruk, vegetasi pantai terganggu, dan kehidupan bawah laut seperti padang lamun serta terumbu karang mulai terancam. Di balik proyek pariwisata megah seluas 180 hektare yang berencana membangun villa-villa terapung, tersimpan dampak ekologis yang tak bisa diabaikan.

PT CPS memang telah mengantongi izin resmi berupa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari pemerintah pusat. Namun, fakta di lapangan menampilkan wajah lain dari pembangunan: reklamasi berlangsung, mangrove tertebang, dan pantai ditimbun demi mendirikan penginapan eksklusif yang tak melibatkan warga lokal.

Warga Pulau Pari, mayoritas nelayan, tak tinggal diam. Mereka melawan dengan jalur hukum, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan ini ditujukan untuk membatalkan izin PKKPRL yang dinilai menjadi sumber bencana ekologis di kampung halaman mereka.

Penolakan warga bukan tanpa alasan. Ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai penahan abrasi dan rumah bagi ribuan spesies laut mulai rusak. Ribuan pohon yang mereka tanam sendiri bersama pengunjung—simbol gotong royong dan kepedulian terhadap lingkungan—hilang dalam sekejap, digusur oleh alat berat. Tak hanya pohon, sejumlah area penting seperti terumbu karang dan padang lamun juga ikut terdampak, merusak rantai makanan laut dan habitat ikan yang biasa ditangkap nelayan.

Tak sedikit yang mulai kehilangan ruang tangkap. Aktivitas melaut menjadi lebih sulit karena wilayah perairan tercemar dan terganggu. Ketika alam tak lagi memberi, roda ekonomi warga pun terancam berhenti berputar.

Kementerian Kelautan dan Perikanan sempat turun tangan, menemukan indikasi pelanggaran serius di lokasi pembangunan. Temuan mereka menunjukkan adanya pengerukan ilegal, reklamasi yang dilakukan tanpa izin lengkap, serta rusaknya kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi. Kementerian Lingkungan Hidup pun telah menyegel lokasi pembangunan serupa milik PT CPS di Pulau Biawak, usai menemukan ribuan pohon mangrove dibabat habis.

Di tengah sorotan publik, warga kembali menyuarakan keresahan: pembangunan villa terapung bukan hanya mengganggu lingkungan, tapi juga mengancam keberlangsungan ekonomi lokal. Penginapan yang dikelola warga selama ini bersaing tak seimbang dengan fasilitas mewah perusahaan. Keuntungan yang seharusnya dinikmati bersama perlahan beralih ke pihak luar, sementara warga hanya jadi penonton di tanah sendiri.

Suara warga diperkuat oleh berbagai organisasi lingkungan seperti Walhi dan KIARA yang menilai proyek ini tak hanya cacat secara legal, tapi juga secara moral. Mereka menegaskan, ruang hidup masyarakat pesisir bukan untuk diperjualbelikan atau dikorbankan demi bisnis eksklusif.

Pulau Pari kini berdiri di persimpangan: antara janji manis investasi dan panggilan menjaga bumi. Di satu sisi, proyek ini digadang-gadang sebagai bagian dari pengembangan wisata bahari; di sisi lain, ia membuka luka ekologis yang dalam dan mengancam masa depan generasi setempat.

Warga Pulau Pari sedang berjuang, bukan hanya mempertahankan hutan mangrove atau mata pencaharian mereka, tetapi juga hak untuk menentukan masa depan lingkungan tempat mereka hidup—sebuah hak yang semakin tergerus dalam riuhnya pembangunan. (*)




Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan