Jenderal Hoegeng: Simbol Integritas yang Terpinggirkan
Jenderal Hoegeng Simbol Integritas yang Terpinggirkan. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Dalam peringatan Hari Bhayangkara ke-79, sosok Jenderal Hoegeng Imam Santoso kembali menjadi sorotan. Ia dikenal luas sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjunjung tinggi prinsip kejujuran dan integritas saat memimpin dari tahun 1968 hingga 1971. Meski demikian, masa jabatannya berakhir lebih cepat karena ketegangan politik dan sikap tegasnya dalam penegakan hukum.
Salah satu peristiwa besar yang memengaruhi akhir masa kepemimpinannya adalah keterlibatannya dalam pengusutan kasus penyelundupan mobil mewah. Awalnya, kasus tersebut dianggap sebagai pelanggaran biasa, namun seiring berjalannya waktu, muncul tekanan dari berbagai pihak yang merasa terganggu oleh keterlibatan kepolisian, terutama karena kasus tersebut menyeret nama-nama besar dari kalangan pengusaha, militer, hingga pejabat bea cukai. Situasi ini menyebabkan hubungan Hoegeng dengan Presiden Soeharto memburuk, hingga akhirnya ia diberhentikan dari jabatannya pada awal Oktober 1971.
Setelah tidak lagi menjabat, Hoegeng menghadapi tantangan baru dalam kehidupan pribadinya. Seluruh fasilitas negara yang semula diberikan, seperti rumah dinas dan kendaraan, harus dikembalikan, membuat dirinya dan keluarga harus mencari tempat tinggal dan alat transportasi sendiri. Beruntung, beberapa kolega masih menunjukkan kepedulian—termasuk bantuan rumah dari Kapolri penerusnya serta sumbangan kendaraan dari para Kepala Kepolisian Daerah.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Hoegeng mengembangkan berbagai kegiatan produktif. Ia melukis, menjadi pembawa acara dialog radio, dan tampil sebagai musisi dalam grup Hawaiian Seniors yang disiarkan secara rutin di TVRI. Namun, keterlibatannya dalam Petisi 50—sebuah pernyataan terbuka yang mengkritik penyalahgunaan ideologi negara oleh pemerintah—membuat ruang geraknya kembali dibatasi. Acara radionya dihentikan secara sepihak, begitu pula dengan tayangan televisinya.
Kondisi tersebut memaksa Hoegeng menggantungkan pendapatannya dari hasil menjual lukisan. Karya-karya seninya menjadi sumber utama pembiayaan pendidikan anak-anaknya. Meski demikian, ia tetap menjaga semangat dan komitmennya terhadap nilai-nilai kebenaran yang ia pegang sejak awal.
Hoegeng lahir di Pekalongan, dari keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya pernah menjabat sebagai kepala kejaksaan di kota tersebut. Sejak kecil, ia dikenal dengan panggilan yang mengalami perubahan seiring waktu, mencerminkan keakraban dalam lingkungan sosialnya.
Pendidikan Hoegeng berlangsung di beberapa lembaga pendidikan elit pada masa Hindia Belanda. Setelah menamatkan pendidikan menengah, ia aktif dalam dunia musik yang juga membantunya mencukupi kebutuhan hidup. Karier kepolisian dimulainya dengan berbagai penugasan penting, termasuk kursus militer di Amerika Serikat dan sejumlah jabatan strategis di berbagai daerah sebelum akhirnya diangkat menjadi Kapolri.
Jenderal Hoegeng wafat di Jakarta pada usia 82 tahun dan dimakamkan di Giri Tama, Bogor. Warisannya sebagai tokoh yang bersih, jujur, dan berani menyuarakan kebenaran tetap hidup dalam ingatan publik hingga kini. (*)