Konflik Iran-Israel: Guncangan Global dan Dampaknya Bagi Indonesia

Iran vs Israel: Dua Kekuatan Timur Tengah Saling Hantam, Siapa Lebih Perkasa?. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang memuncak sejak pertengahan Juni 2025 membawa dampak signifikan tidak hanya bagi kawasan Timur Tengah, tetapi juga bagi stabilitas ekonomi global, termasuk Indonesia. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi penutupan Selat Hormuz, jalur vital perdagangan minyak dunia, yang dapat memicu lonjakan harga minyak global.
Ketegangan memuncak pada Jumat dini hari, 13 Juni 2025, ketika serangkaian ledakan mengguncang wilayah Teheran Utara. Serangan ini menargetkan unit apartemen dan menewaskan sejumlah warga, termasuk tokoh sipil. Peristiwa ini menjadi awal dari eskalasi militer yang berlangsung selama hampir dua minggu, ditandai dengan rentetan serangan rudal dan drone yang merusak berbagai fasilitas strategis, termasuk infrastruktur publik dan lokasi yang dikaitkan dengan program nuklir Iran.
Di tengah konflik yang berlangsung, Israel meluncurkan operasi militer besar-besaran dengan nama sandi Operation Rising Lion. Operasi ini diduga memiliki dimensi politik domestik, terutama sebagai respons terhadap tekanan internal terhadap pemerintahan Israel yang sedang menghadapi krisis legitimasi dan dinamika parlemen.
Iran, yang diduga mempercepat program pengayaan uranium, menjadi fokus serangan berikutnya. Namun, karakter fasilitas nuklir Iran yang berada jauh di bawah tanah mempersulit penghancuran total melalui serangan konvensional. Karena itu, Amerika Serikat turut terlibat dalam misi pengeboman terhadap beberapa fasilitas nuklir Iran seperti Fordow, Isfahan, dan Natanz, melalui operasi yang dinamai Midnight Hammer, menggunakan pesawat siluman B-2.
Berbeda dari konflik masa lalu di Timur Tengah yang berakar pada kepentingan minyak, dinamika kali ini lebih kental dengan pertarungan pengaruh dan keamanan kawasan. AS, yang saat ini tidak terlalu tergantung pada pasokan minyak dari Timur Tengah, justru lebih terdorong oleh kepentingan politik sekutu dan tekanan lobi politik domestik.
Sementara itu, Iran memberikan respons dengan melancarkan serangan balasan bertajuk True Promise III. Serangan ini menyasar sejumlah kota di Israel serta pangkalan militer AS di Qatar. Jumlah korban jiwa di kedua belah pihak cukup besar, dengan kerusakan infrastruktur yang signifikan, serta mengganggu aktivitas penerbangan internasional di kawasan.
Di sektor ekonomi, wacana penutupan Selat Hormuz yang digaungkan oleh parlemen Iran menjadi perhatian global. Jalur ini menyumbang sekitar 21 juta barel minyak per hari, menjadikannya salah satu titik paling strategis dalam perdagangan energi dunia. Meskipun keputusan akhir belum diambil, potensi penutupan selat tersebut menyebabkan kekhawatiran akan lonjakan harga minyak global.
Bagi Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak, setiap kenaikan harga minyak mentah internasional akan memperberat beban fiskal. Misalnya, jika harga minyak naik 10 USD per barel dari asumsi yang telah ditetapkan dalam APBN 2025, maka potensi tambahan defisit bisa mencapai Rp 50-60 triliun. Hal ini akan memengaruhi stabilitas nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, hingga kemampuan pemerintah menjalankan program bantuan sosial.
Meski sempat berfluktuasi, harga minyak dunia sempat turun ke kisaran 65 USD per barel usai ketegangan mereda. Indonesia pun belum mengalami tekanan inflasi yang signifikan karena peran subsidi energi dan kebijakan fiskal yang masih cukup kuat.
Namun, dampak geopolitik juga terasa dalam ranah diplomasi ekonomi. Sikap Indonesia yang dinilai kurang seimbang dalam merespons konflik—terlihat dari kunjungan Presiden Prabowo ke Rusia dan absennya dari forum G7 di Kanada—diperkirakan dapat memengaruhi hubungan dagang, termasuk negosiasi tarif dengan Amerika Serikat yang sebelumnya telah ditunda. Risiko pengenaan tarif lebih tinggi menjadi perhatian tersendiri.
Meski serangan militer dari kedua pihak telah dihentikan sementara, para analis meyakini situasi ini masih berpotensi memburuk. Program nuklir Iran yang belum benar-benar lumpuh, serta dinamika politik internal di AS dan Israel, bisa memicu siklus ketegangan baru dalam beberapa tahun mendatang.
Dari sisi persepsi internasional, Iran dinilai berhasil mempertahankan kedaulatannya dalam konflik ini, sementara Israel dan AS belum mencapai target utamanya seperti penggulingan rezim atau penghentian total program nuklir Iran. Serangan balasan Iran juga telah mengguncang rasa aman warga Israel, sekaligus melemahkan citra negeri tersebut dalam komunitas internasional.
Bagi Indonesia dan negara lain yang bergantung pada stabilitas energi serta tatanan global yang relatif damai, ketegangan semacam ini menjadi pengingat penting akan perlunya kebijakan luar negeri yang cermat serta kesiapan ekonomi menghadapi gejolak global. (*)